Markesot Bertutur #Emha Ainun Nadjib

oleh Ella Fitria
Bulan Al-Quran,
Budaya Ramadhan

Ternyata rizki itu lebih banyak yang bukan berupa kekayaan harta benda. Coba, pada dini hari Jumat Kliwon kemarin, tatkala bangun untuk makan sahur, Markesot bergumam-gumam sendiri, “Lho, luar biasa. Tidur saya tidak berlanjut ke kematian. Padahal, saya ndak bisa lho ngontrol tidur untuk tidak menjadi kematian. Ternyata saya bangun kembali, mripat jik iso kethap-khetip, perut masih sanggup merasakan lapar dan kenyang, tanganku iki kiro-kiro jik kuwat digae nguli, alhasil segala sesuatunya masih beres. Onderdil tubuh dan jiwa saya sehat walafiat. Alangkah besar rezeki Allah ….” Maka, Markesot berangkat makan sahur dengan penuh rasa bahagia dan syukur. Cinta betul dia sama Allah! Lha wong Allah itu bisa lho membikin kita pada suatu pagi ndak bisa bangun karena kaki lumpuh sebelah, mata rabun, atau cangkem kita pethot. Tapi, Markesot tetap dianugerahi-Nya rezeki kesehatan, tiap pagi.
Itu semualah yang membuat Markesot merasa dikabyuki rezeki. Tiap saat, rezeki Allah mana kita bisa hitung! Matahari terus terbit, tanah terus mau menumbuhkan tanaman—–

Bayangkan, Markesot tidak perlu memerintahkan kepada usus-ususnya agar menyerap sari-sari makanan sahur dengan tertib dan penuh dengan loyalitas. Gigi dan lidah Markesot bekerja dengan sendirinya, tanpa juklak atau juknis darinya. Brengos dan jenggot Markesot biar dicukur tiap pagi, terus juga tak putus ada untuk tumbuh. Dan seterusnya, dan seterusnya—–

Itulah makna lain puasa Ramadhan sebagai rezeki Allah. Dengan berpuasa, kita diberi kesempatan untuk mengambil jarak dari “kenyang”, dari makan minum, dari punya ini dan punya itu. Kita becermin di kaca lapar supaya bisa menghitung kembali apa-apa rizqullah dalam kehidupan kita—–

Puasa bukan lagi persoalan menahan lapar dahaga dari subuh hingga maghrib. Itu masalah kecil dan ringan. Puasa bukan lagi soal kepatuhan menjalankan instruksi Allah, sebab kita semua lebih dari sekedar pegawai-Nya. Puasa, sebagai bagian amat penting dari syariat. Islam, punya dimensi yang jauh lebih luas dan lebih bermakna dibandingkan dengan sekedar sebagai undang-undang agama.

Puasa adalah lokakarya sebulan untuk mencari dan menemukan ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup, tentang thariqatil ilallah. Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk ikhtikaf di masjid, untuk tafakur, merenung, berkontemplasi, mengkalkulasi hidup, menembus ufuk-ufuk cakrawala anugerah Allah

Dengan kata lain, kita berpuasa tidak hanya untuk mencari bathi atau pahala, tapi mencari ilmu. Seperti juga kita shalat tiap hari, tidak hanya untuk “ngisi buku absen”, tapi untuk mencari ilmu. Karena tahap-tahap penemuan ilmu dalam diri kita itulah, di setiap shalat, kita takjub dan meneriakkan “Allahu Akbar“—–

Ella Fitria

You may also like

0 0 vote
Rating Artikel
Subscribe
Notifikasi
guest
0 Komentar
Feedback Sebaris
Lihat semua komentar
Mas Donda
12 Februari 2019 09:12

Rindu malam-malam di bulan Ramadhan. Benar-benar indah dan nyaman.