Sore Yang Mengantarku Ke IGD

oleh Ella Fitria
Gambar diambil dari Pixabay.com

Matahari mulai memerah di ujung langit barat. Percikan cahayanya menyebar ke seluruh sudut jalan yang aku lewati. Adikku melajukan sepeda motor dengan pelan, memberi kesempatan untuk menikmati cahaya kesukaanku. Aku biasa menyebutnya “Senja”, meskipun belum merah sempurna, tapi sudah tampak indah bentuknya.

Senja itu mengiringiku dalam perjalanan pulang, setelah seharian menemani adik laki-lakiku mengurus SKCK ke Polres. Kami berangkat sejak pagi. Jarak tempuh rumahku menuju polres terbilang cukup jauh, membutuhkan sekitar 45 menit untuk sampai di sana. Tepat pukul empat sore aku sampai di rumah. Seperti biasa aku mengucap salam sambil membuka pintu rumah dengan perlahan.

Aku dapati ibu dan adik perempuanku sudah menungguku di ruang tamu. Norma, nama adik perempuanku, ia terlihat sangat cantik. Matanya terlihat lebih tajam karena sapuan eyeshadow, bibirnya terlihat pink memerah karena sudah dipoles lipstik, pipinya yang tembem tampak merah merona lengkap dengan alis yang sedikit ditebalkan.

Dia baru tujuh tahun, tapi sudah lincah mengaplikasikan makeup ke wajahnya. Ia amat cantik, mengenakan gaun berwarna pink yang dipadukan dengan bando renda merah membuatnya nampak serasi. Ibuku juga mengenakan atasan berwarna pink, aku tahu baju itu belum lama ia beli. Terlihat senada dengan baju yang dikenakan Norma. Jangan tanya soal kecantikan ibuku. Ibuku amat cantik, sore itu senyumnya yang bersahaja menyapaku, menghilangkan rasa lelah dan capek yang sempat merasuk ke badanku.

Baru memasuki pintu rumah, Norma sudah menghentikan langkahku. “Mbak, ayo ke rumah Reta. Reta ulang tahun, sudah telat nih. Mbak ditunggu dari tadi nggak pulang-pulang,” kata Norma sambil merajuk.

“Lha mbak capek Nor, kan baru sampai rumah. Norma ke tempat Reta sama ibu aja ya, biar mbak sama mas nyusul aja nanti kalau sudah nggak capek,” kata ibu menyahut Norma.

Belum sempat aku mengeluarkan komentar, suara tangis Norma sudah terdengar memecahkan telinga. Ah, baiklah aku iyakan untuk ikut ke rumah Reta bersama ibu dan Norma. Setelah selesai shalat ashar, perutku tiba-tiba protes minta diisi. Akhirnya aku memutuskan makan dulu sebelum ke rumah Reta. Baru menyentuh piring, tangis Norma sudah melengking lebih keras karena sudah tidak sabar pergi ke rumah Reta.

Tanpa mandi, tanpa ganti baju, tanpa lipstik dan bedak, tanpa makan, aku segera menyambar jaket. Di depan rumah ibu bilang, “ibu yang bawa motor, kamu bonceng aja kan capek baru pulang dari Polres”.  Aku mengangguk, karena memang capek dan lapar.

Tiba-tiba gerimis datang, tidak begitu deras tapi cukup membasahi aspal jalanan.  “Bu, pakai helm ya, takut hujan gede nanti matanya sakit loh kena air hujan,” saranku kepada ibu. Hanya ibu yang memakai helm, aku pikir karena membonceng bisa menunduk kalau hujan. Jarak rumahku ke rumah Reta juga tidak begitu jauh. Males kalau harus pakai helm.

Aku kenakan mantel di tubuh Norma yang mungil, lalu buru-buru aku mengenakan jaket. Kami bertiga sudah siap. Setiap pergi menggunakan motor, Norma selalu minta berdiri di posisi depan karena motor ibuku matic. Tapi karena gerimis, Norma minta pindah di tengah, dia takut makeupnya luntur kena gerimis.

Pelan-pelan, ibu mulai menarik gas motor. Sepanjang jalan aku menunduk. Ibuku memilih jalan pintas yang agak rusak, tapi lebih dekat sampai ke rumah Reta. Aku menurut, karena aku tinggal bonceng saja, pikirku.

Baru 10 menit jalan, aku mengingatkan ibu karena aku tahu jalan yang akan kita lewati sedikit rusak. Sambil menunduk dan memegangi Norma, aku berpesan pada ibu, “buuu, hati-hati ya turunan di depan agak rusak”.

“Udah nggak rusak kok, tuh udah diplester (semen yang dibalurkan untuk menutupi aspal yang rusak),” jawab ibuku dengan sigap.

“Bruuuuk!!!”. Suara itu mengagetkanku saat aku belum sempat mengangkat kepala untuk melihat langsung ke arah jalan yang ibu maksud. Kami bertiga jatuh tepat di tengah jalan yang menurun.

Aku berusaha memegangi Norma, tapi Norma terpelanting, kami bertiga terguling cukup jauh. Aku merasakan kepalaku terbentur sesuatu, tapi aku tidak tahu benda apa itu. Aku buka mata perlahan, mengedip-ngedipkannya menghadap ke arah langit. Rintik hujan terus membasahi wajahku, aku tak lagi mendengar suara apa pun saat itu. Aku mencoba menggerak-gerakan kakiku yang terasa linu, perih dan pegal, berharap terus merasakan rasa itu. Alhamdulillah aku masih bisa menggerakkannya. Tapi aku melihat langit tiba-tiba berputar cepat, aku seperti sedang naik roller coaster, mataku berkunang, aku memegangi kepalaku.  Seketika itu darah segar menetes dari kepala. Gelap. Aku pingsan.

Aku muntah berkali-kali, perutku seperti diobok-obok, muntah sampai isi perutku benar-benar habis. Lenganku seperti digigit semut, ternyata ada jarum suntik yang menusuknya. Antara sadar dan tidak, aku menahan sakit sambil terpejam. Aku sudah terbaring di IGD rumah sakit. Sementara itu aku tidak tahu dimana keberadaan Norma dan ibuku.

Entah apa yang dokter lakukan, aku hanya merasakan sakit dan ngilu di sekujur tubuhku. Aku terbangun dengan kepala yang sudah diperban. Aku harus merelakan rambut panjangku dipotong perawat karena kepalaku harus mendapatkan beberapa jahitan.

Ingatanku benar-benar kacau, aku tidak bisa mengenali orang yang mengunjungiku. Aku tak mengenali siapapun, mataku buram, aku hanya ingat dengan adik laki-lakiku. Sepanjang malam hanya dia yang aku tanyakan, padahal dia sudah duduk di sampingku.

Tubuhku didorong menuju ke sebuah ruangan, mataku masih terpejam. Hawa dingin ruangan itu menerkamku. Entah berapa kali aku ganti baju malam itu, karena muntahan. Aku mendengar perawat menyuruhku untuk menarik nafas beberapa detik, lalu kilat lampu tiba-tiba menjepret tubuhku. Hanya beberapa menit, aku kembali merasakan tubuhku didorong menuju ruang UGD.  24 jam dokter dan perawat memantau kondisiku yang belum membaik akibat cidera kepala.

Dokter menyuruhku untuk memejamkan mata saja, supaya rasa pusing dan mualku berkurang. Sambil menahan sakit, aku berusaha keras mengingat banyak hal semampu dan sebisaku. Tiga jam kemudian ingatanku mulai kembali muncul satu persatu. Kepalaku makin berat. Aku coba membuka mata, melihat sekelilingku dan mencoba mengenali orang-orang yang ada di ruangan itu.

Aku mulai menanyakan Norma, dimana gadis mungil itu? Ternyata dia juga masih terbaring di ruang IGD, namun terpisah denganku. Norma tidak mengalami muntah hebat sepertiku, kata dokter luka kepalanya cukup ringan meski mendapat delapan jahitan.

Saat itu aku mulai tahu keadaan Ibu dan Norma tidak separah keadaanku, karena Ibu mengenakan helm. Tidak ada luka di kepala, hanya saja telapak kakinya mengalami retak ringan dan mendapat 13 jahitan.

Aku dipindah ke ruangan Norma, di ruang itu aku melihat ayah Reta sibuk mengurus kami. Ternyata ulang tahun Reta dirayakan tanpa kehadiran Ayahnya. Ayah Reta yang membawa kami ke rumah sakit.

Ibuku menangis sesenggukan di sampingku, dia minta maaf atas kejadian ini. Aku masih bingung, masih belum mengerti apa yang dia katakan. Aku mendengar ponselku berdering di samping bantalku, aku coba menyentuh ponselku dengan rasa penasaran. Aku tidak bisa membuka layarnya, ponsel itu menjadi benda asing yang aku tak bisa mengoperasikannya. Aku mulai menekan-nekan layar yang terdapat fotoku. Aku mengenali wallpaper layar itu, tapi aku tak mampu mengingat pola kuncinya. Adik laki-lakiku memperhatikanku, dia tersenyum. Lalu menempelkan jempolku ke tombol ponsel. Terbukalah ponsel itu, aku bingung bukan main. Ini benar-benar asing, aku tak tahu apa-apa. Aku menyerah, menangis menahan sakit hingga aku tertidur. Hari-hariku hanya berjalan seperti itu.

Kata dokter benturan yang mengenai kepalaku cukup keras, akibat tidak menggunakan helm. Otakku memar, butuh penyesuaian dan beradaptasi untuk kembali pulih. Akhirnya aku harus bolak balik ke rumah sakit untuk mengetahui perkembangan otakku. Hampir empat bulan aku berkencan dengan dokter syaraf, psikiatri, dan fisioterapis.

Akibat dari benturan ini membuatku sedikit lupa terhadap hal-hal dalam hidupku. Aku pun merasa semakin sensitif. Percayalah, tidak mudah untuk kembali bersemangat menjalani hidup. Butuh waktu untuk mengurai ingatan yang sempat hilang, mulai dari mengingat nama teman-temanku, mulai mengingat tempat-tempat yang dulu pernah aku kunjungi dengan melihat galeri foto, mencoba mengingat apapun yang membuatku kembali semangat menjalani hariku. Rasa emosionalku yang tak menentu membuat ibu dan orang di sekeklilingku merasa kewalahan, aku mudah sekali jengkel dan tiba-tiba diam tanpa sebab, apalagi jika aku sedang mengingat sesuatu tapi ingatan itu tak kunjung datang, aku mudah sekali marah. Belum lagi jika aku tidak bisa tidur semalaman (insomnia), sekalinya bisa tidur selalu mimpi buruk. Empat bulan menjadi masa sulit ku untuk kembali menjalani hidup normal layaknya aku bisa mengingat semuanya. Empat bulan aku merasakan pusing yang berputar-putar, mual dan muntah. Selama empat bulan aku tidak melakukan aktivitas apapun. Tapi beruntung sahabat, teman, keluarga selalu ada dan memahami kondisiku. Kini, aku kembali dengan jiwa yang baru. Aku memutuskan untuk selalu protecting terhadap keselamatan.

Kalian tahu? Terlepas dari ketentuan gusti, ini juga akibat aku tidak memakai pelindung kepala (helm) saat berkendara.

Yuk sayangi kepala kita dengan melindunginya saat berkendara..

Ella Fitria

You may also like

0 0 vote
Rating Artikel
Subscribe
Notifikasi
guest
0 Komentar
Feedback Sebaris
Lihat semua komentar