Pesan Anak untuk Guru dan Orang Tua

oleh Ella Fitria
Gambar diambil dari pixabay.com

“bu.. Ibu sakit ya?” pertanyaan ini terlontar dari salah satu anak siang itu. Lalu aku dengar ada anak lain yang menyahut, “iya ya bu.. dari tadi mukanya pucat, aku pernah sakit panas bu, terus aku minum obat panadol anak. Ibu beli aja panadol anak, siapa tahu sembuh bu”. Mendengar celoteh dari anak-anak ini, seketika aku langsung tertawa. Ya gusti, ini bocah pada nggemesin banget. Aku disuruh minum panadol anak.

Perhatian mereka kepadaku dengan sikap lugunya, membuat aku merasa heran sekaligus senang.  Mereka seperti merasakan atmosferku yang saat itu memang sedang tidak enak badan. Aku sudah berusaha semampuku untuk terlihat biasa saja di depan mereka, tapi rupanya mereka tetap bisa menangkap apa yang sedang aku rasakan.
Aku memang belum lama memutuskan mengabdikan diri bersama bocah-bocah lucu ini. Menjalani profesi sebagai guru di salah satu sekolah di Banjarnegara. Menjadi figur guru yang lemah lembut bukanlah tipeku. Bagaimana bisa lemah lembut, sudah teriak-teriak saja suaraku tetap kalah dengan suara mereka yang berjumlah 21.
Awalnya, aku merasa tidak ada yang spesial, biasa banget. Masuk kelas, hafalan juz ‘ama, baca al-qur’an, shalat duha dan baru memulai pelajaran. Seperti itulah rutinitasku. Tapi pengalaman siang itu, membuat aku merasakan pengalaman yang berbeda. Bahkan kini setiap hari aku menemukan hal-hal yang membuat senyum, ketawa dan mangkel sendiri dengan tingkah mereka.
Hari berikutnya aku nggak bisa ketemu mereka, sakitku masih berlanjut. Pikirku mereka pasti bahagia kalau gurunya nggak ngajar (kaya pengalamanku zaman dulu sih), tapi ternyata aku salah. Aku justru merasakan ketulusan yang mereka tunjukkan ketika aku masuk sekolah lagi.
“buuu.. Kenapa sakitnya lama sih? Setiap hari kita doain ibu loh. Aku ingat kata bu guru kalau hujan waktu yang bagus untuk berdoa supaya doa kita dikabulkan, makanya kita selalu berdoa pas hujan turun bu,” ucap salah satu anak kepadaku.
Hatiku trenyuh banget, nyeeesss.. Ya gusti.. Mungkin doa-doa terbaik yang mereka panjatkan membuat aku lebih cepat sembuh. Batinku merasa adem, mereka ternyata membutuhkanku. Aku juga sudah salah menilai mereka, ternyata mereka merasa kehilangan saat aku tidak bisa masuk kelas.
Seperti biasa, setelah selesai menjelaskan sesuatu, aku lanjut dengan memberi tugas kepada mereka, dengan diselingi pertanyaan “sudah paham atau belum?” Mereka serempak menjawab “paham buuu”. Ada rasa sumringah ketika anak-anak semangat memahami apa yang sudah aku jelaskan.
Memang tidak setiap hari, semua materi pelajaran yang aku sampaikan bisa mereka pahami dengan mudah. Suatu hari, aku menyampaikan materi tentang kolase. Sudah rampung aku jelaskan, mulai dari pengertian kolase, fungsi kolase, bahan-bahan untuk membuat kolase, dan cara membuat kolase. Ketika aku memberikan tugas kepada mereka untuk membuat kolase, mereka menerimanya dengan semangat.
Tapi saat yang lain sudah bilang paham, ada satu anak yang maju ke depan, sambil bertanya, “bu…bu… kolase sih apa?” tanyanya padaku dengan wajah lugunya.
Ya salaaaam, padahal dia juga kelihatan anteng, menyimak, dan terlihat antusias ketika aku menjelaskan. Greget banget nggak sih? Cuma bisa bicara dalam hati, “namanya juga anak-anak”. Selalu pasrah dengan kalimat itu biar hati bisa legowo.
Pernah juga saat aku menyampaikan materi tentang batubara. Aku sudah menjelaskan dan semua anak sudah aku pastikan paham. Kebetulan kurikulum yang dipakai di sekolahku menggunakan kurikulum 2013, jadi ada kerjasama antara guru dan orang tua di rumah. Makanya aku kasih tugas mereka untuk menceritakan kembali dengan pemahaman mereka apa itu batubara kepada orang tua mereka.
Esok harinya, tiba-tiba ada anak yang semangat banget bercerita. “Bu, bu.. Aku udah cerita sama mamah loh,” ungkapnya.
“Terus?” jawabku singkat dengan rasa penasaran.
“Kan aku cerita ya bu, mah tadi aku habis belajar tentang batubara di sekolah, kata bu guru warna batubara itu hitam loh. Terus mamahku jawab bu, ‘lah nyong kon ngapa nek warna batubara ireng? (lah mamah harus ngapain kalau batubara warnanya hitam?)’.  Dengerin dulu mah, sebentar. ‘mamah mau nyuci baju, kamu belajar sendiri aja dulu ya’. Yah akhirnya aku nggak jadi cerita deh bu”.
Mendengar cerita dari muridku ini, batinku rasanya mangkel banget. Orang tua yang menjadi orang terdekat dengan anak-anak di rumah memperlakukan anaknya seperti itu, padahal kita sebagai guru hanya bisa memantau ketika mereka di kelas, di sekolah. Bahkan meluangkan waktu sebentar saja mendengarkan anaknya bercerita tentang pelajaran di sekolah, orang tua itu tidak mau.
Untuk para ayah dan ibu, cobalah luangkan waktu sebentar untuk anak-anakmu. Mereka butuh didengarkan, mereka butuh didampingi. Jangan anggap mereka sebagai robot yang aktivitasnya hanya berangkat sekolah setiap pagi, pulang sekolah setiap sore. Sekolah juga bukan satu-satunya tempat untuk belajar, justru anak-anak akan belajar banyak di luar sekolahnya. Anak-anak membutuhkan orang tua untuk mendampingi proses perkembangan mereka.
Cobalah dengarkan cerita dari mereka, dengan begitu kita akan lebih peka lagi dan mampu memahami bagaimana cara “menghargai anak”. Kalau orang tua bisa masuk ke dalam dunia anaknya, maka tidak akan ada anggapan anak bodoh, anak nakal atau anak bandel.  Mari belajar memasuki dunia mereka supaya mereka mampu meledakkan power yang mereka miliki. Karena setiap anak memiliki sisi keunikan tersendiri.
Ella Fitria

You may also like

0 0 vote
Rating Artikel
Subscribe
Notifikasi
guest
0 Komentar
Feedback Sebaris
Lihat semua komentar