Perlambat Perubahan Iklim untuk Masa Depan yang Lebih Terjamin

Besok kita ke Dieng, yuk!

Suara ajakannya penuh harap. Aku mengangguk pelan sambil melontarkan tanya, memangnya sudah yakin besok nggak hujan? Kan sekarang cuaca di sini nggak menentu banget. Kadang, cuaca sedang cerah dan terik, eh tiba-tiba beberapa menit kemudian turun hujan disertai angin dan petir. Mungkin bukan hanya di tempat kami saja yang merasakan fenomena ini, ya?

Fenomena alam lainnya yang aku rasakan terjadi pada akhir tahun lalu. Rumah ibuku sekaligus tempat tinggalku nggak bisa ditempati lagi karena sebagian dindingnya mengalami retak yang cukup parah. Atap dan plafonnya pun beberapa kali jatuh. Selain itu, bagian belakang rumah juga amblas ke jurang. Ibuku harus merelakan rumah tersebut dan memutuskan untuk pindah rumah. Penyebab rumah kami “hampir ambruk” karena letak rumah yang memang berdekatan dengan jurang. Selain itu, ditambah pula terjadi hujan lebat secara terus-menerus selama tiga hari berturut-turut. Untung saja, nggak ada korban jiwa karena ibuku langsung mengungsi hingga saat ini rumah tersebut tak dihuni lagi.

Sama halnya dengan tanah longsor yang terjadi pada 2014 silam di tetangga desa kami. Tepatnya di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah juga terjadi tanah longsor yang sangat dahsyat. Kala itu, satu dusun tertimbun tanah longsor dan mengakibatkan 108 orang terkubur di dalam tanah. Sebanyak 95 orang ditemukan meninggal dunia dan 13 orang dinyatakan hilang. Hanya ada 15 orang selamat dalam kondisi luka-luka. Bayangkan saja, betapa mengerikan dan menakutkan saat bencana longsor terjadi secara tiba-tiba.

0
Orang Terkubur
0
Orang Meninggal
0
Orang Hilang
0
Orang Selamat

Usut punya usut, salah satu faktor terjadinya tanah longsor di Dusun Jemblung ini diakibatkan karena hujan deras selama dua hari nonstop. Memang sih, tanah longsor terjadi karena banyak faktor. Nggak hanya karena hujan saja, tetapi juga kemiringan tanah, kondisi tanah, penggundulan hutan dan lainnya.

Tak hanya ancaman tanah longsor, saat musim kemarau datang, masyarakat desa kami juga harus merasakan betapa susahnya mendapatkan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Sumur-sumur mulai kering dan hanya tersisa beberapa sumber air yang letaknya jauh dari pemukiman. Bahkan, kami pun harus membeli air agar tetap bisa memasak, mandi, dan memenuhi kebutuhan harian.

Lalu, apakah cuaca yang nggak menentu seperti hujan terus-menerus dan kekeringan saat musim kemarau merupakan salah satu akibat dari perubahan iklim? Yuk, kita bahas lebih lanjut.

Mengenal Perubahan Iklim

Sebelum berbicara jauh mengenai dampak dan penyebab perubahan iklim, kita perlu tahu terlebih dahulu, apa sih yang dimaksud iklim? Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Iklim adalah rata-rata cuaca. Nah, cuaca ini meliputi keadaan atmosfer pada suatu tempat di waktu tertentu, seperti temperatur, curah hujan atau angin yang merentang dari bulanan hingga tahunan atau jutaan tahun.

Sementara itu, perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi, seperti naiknya suhu, distribusi curah hujan, kekeringan, dan lain sebagainya. Hal ini tentu akan membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) menyebutkan Perubahan Iklim disebabkan secara langsung maupun nggak langsung oleh aktivitas manusia. Aktivitas manusia ini dapat mengubah komposisi atmosfer global berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang terdiri dari Karbon Dioksida, Metana, Nitrogen, dan lainnya, lho.

Nah, bila konsentrasi Gas Rumah Kaca makin meningkat, tentunya lapisan atmosfer akan makin tebal. Masalahnya adalah penebalan lapisan ini bisa menyebabkan banyaknya jumlah panas bumi terperangkap di atmosfer bumi. Bila hal itu terjadi terus menerus, otomatis akan membuat suhu bumi makin meningkat.

Bila suhu bumi makin meningkat tentu akan mengakibatkan berbagai masalah untuk bumi dan seisinya. Termasuk penguapan air tanah yang mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan kekeringan, kebakaran hutan, hingga gelombang panas.

Selain itu, masalah lainnya adalah terjadinya kekeringan di berbagai wilayah, hujan dengan intensitas besar, bahkan bencana alam banjir di mana-mana. Nah, sampai di sini sudah makin jelas, kan? Kalau salah satu penyebab cuaca ekstrem, hujan deras tanpa aba-aba, hingga terjadinya kemarau panjang adalah salah satu dampak dari perubahan iklim.

Bumi adalah Taman Surga Kita

Sejatinya, perubahan iklim dan kondisi bumi memang telah terjadi sejak bumi terbentuk jutaan tahun lalu. Beragam peristiwa dan perubahan kondisi bumi telah dilalui. Mulai dari bumi yang masih muda dan nggak layak huni hingga periode bumi yang sangat nyaman dihuni seperti sekarang ini. Kita bisa menyebutnya sebagai periode Holosen.

Menurut ilmuwan, periode Holosen merupakan periode yang paling stabil di antara periode sebelumnya. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, suhu rata-rata bumi nggak naik ataupun turun lebih dari satu derajat. Hal tersebut dikarenakan bumi memiliki keanekaragaman hayati yang berfungsi untuk menopang kehidupan. Seperti halnya hutan dan zooplankton yang selalu menyerap karbon untuk keseimbangan atmosfer.

Nah, dengan atmosfer bumi yang seimbang, memungkinkan tumbuhan dan hewan untuk hidup berkembang. Oleh karena itu, di daerah tropis, musim kering dan hujan akan berubah dengan mudah setiap tahunnya. Hal ini seharusnya menjadikan bumi salah satu taman surga di tata surya kita, kan? Sayangnya, nggak semua orang aware dengan hal demikian. Malah, masih banyak orang yang abai dan nggak memedulikan bumi meskipun hanya sebentar.

Kesadaran Manusia Terhadap Perubahan Iklim yang Masih Minim

Dulu saat aku duduk di bangku SMP, dampak perubahan iklim sering diulang-ulang oleh guru IPS. Namun, pada saat itu, aku beranggapan bahwa isu perubahan iklim hanya sebuah dongeng semata. Terlebih saat itu, aku belum bisa merasakan dampak yang signifikan dari perubahan iklim dalam kehidupan sehari-hari.

Perubahan iklim nyaris nggak terlihat secara kasatmata dari hari ke hari. Namun tanpa sadar, perubahan iklim ini akan memberikan dampak yang besar di masa mendatang. Ibaratnya seperti istilah butterfly effect dalam chaos theory, di mana perubahan kecil pada suatu sistem dapat memberikan dampak besar di kemudian hari.

Saat ini, setelah belasan tahun lulus dari SMP, aku merasakan betul percepatan perubahan iklim. Bahkan, dampaknya sudah mulai aku rasakan, belum lagi dampak-dampak lainnya yang seolah menanti di depan mata. Lantas apa yang menyebabkan perubahan iklim makin cepat, sih? Kenapa aku dan sebagian orang nggak sadar akan hal tersebut?

Ulah Manusia, Salah Satu Penyebab Perubahan Iklim makin Cepat

Meskipun bumi layaknya taman surga bagi penghuninya, tetapi bumi merupakan rumah yang terbatas. Manusia sebagai salah satu penghuni bumi justru secara terus menerus mengeksploitasi bumi. Banyak orang yang menganggap bahwa bumi adalah sumber daya yang nggak ada habisnya. Padahal, bila bumi nggak kita rawat, perubahan iklim yang seperti sekarang ini bisa terjadi makin parah.

Memang, saat ini kita hidup di era yang serbacepat dan serbapraktis setiap hari. Kecerdasan membuat manusia lebih cepat berevolusi dan memenuhi kebutuhannya. Semua kebutuhan kita tercukupi akibat perkembangan dan kemajuan teknologi. Secara nggak langsung, cara hidup manusia zaman sekarang membuat keanekaragaman hayati menurun, bahkan terancam punah. Hal ini akibat ketidaktahuan kita bagaimana menjaga lingkungan dan bagaimana peduli terhadap sekitar.

Kita merupakan satu-satunya spesies yang dapat mengancam kelangsungan hidup di bumi, lho. Bahkan, fakta menunjukkan seiring pertumbuhan manusia yang makin meningkat, keberadaan alam liar di bumi pun makin menurun. Seperti pada tahun 1937, ketika populasi manusia mencapai 2,3 miliar, persentase alam liar di bumi masih 66%. Sementara itu, pencemaran karbon di udara masih relatif rendah, yaitu 280 bagian per sejuta. Coba saja kita bandingkan dengan data terbaru di tahun 2020, dimana populasi global telah menyentuh 7,8 miliar. Sementara itu, pencemaran karbon juga meningkat hingga 415 bagian per sejuta. Nah, yang paling mengejutkan adalah pada tahun 2020 keberadaan alam liar di bumi hanya tersisa 35% saja.

Statistik Keadaan Bumi Tahun 1937

0
Milyar Orang
0 %
Alam Liar
0
Karbon / Sejuta

Statistik Keadaan Bumi Tahun 2020

0
Milyar Orang
0 %
Alam Liar
0
Karbon / Sejuta

Fakta lain adalah setengah dari hutan hujan dunia telah ditebang, bahkan lebih dari 15 miliar pohon ditebang setiap tahun. Seperti penebangan hutan di Kalimantan yang telah mengurangi populasi orang utan sebanyak dua pertiga dari populasi orang utan.

Belum lagi, polusi yang disebabkan karena mobilitas manusia yang lagi-lagi tanpa sadar membakar jutaan sumber daya bumi. Hal ini akan berpengaruh terhadap percepatan kepunahan massal hanya dalam kurun waktu 200 tahun saja.

Tak hanya itu, timbunan sampah di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 67,8 juta ton. Tentunya, hal ini akan berdampak buruk bagi alam di masa sekarang dan masa mendatang.

Secara nggak sadar dan tanpa dosa, kita telah merampas hak spesies lain dan berbagai keanekaragaman hayati di bumi, bukan? Kita mengeksploitasi bumi hanya untuk kepentingan pribadi tanpa peduli dengan kondisi bumi di kemudian hari. Hal ini tentu akan mengancam kelangsungan hidup berbagai keanekaragaman hayati.

Oleh karena itu, bisa dipastikan suatu saat akan terjadi ketidakseimbangan yang menjadi salah satu penyebab perubahan iklim makin cepat. Parahnya, bila kita terus-menerus nggak peduli dan hanya mementingkan ego kita sendiri, aku yakin suatu saat bumi nggak bisa dihuni lagi.

Dampak Perubahan Iklim bagi Kehidupan

Sungguh, dampak perubahan iklim makin tahun makin terasa, ya? Salah satunya adalah naiknya temperatur bumi yang turut mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan. Nah, berikut beberapa dampak perubahan iklim bagi kehidupan:

Terjadi Kemarau Panjang

Setiap membahas kemarau panjang, napas ini terasa berat. Sungguh! Beberapa tahun terakhir kami mengalami kemarau panjang hingga kesulitan mendapatkan air bersih. Bagi kami, air merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat mahal harganya. Mengingat saat musim kemarau tiba, kami harus rela merogoh kocek yang nggak sedikit untuk membeli air dengan mobil bak terbuka.

Beli air saat musim kemarau tiba

Bahagia sekali saat mobil bak terbuka berisi toren air tiba di depan rumah setelah mengantre membeli air berjam-jam bahkan berhari-hari. Semua anggota keluarga bergerak cepat menampung air hingga badan ini rasanya rontok karena harus bolak balik mengisi wadah apa pun yang bisa digunakan untuk menampung air.

Aku makin yakin, kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan adalah salah satu bukti dampak perubahan iklim yang nyata. Sama halnya dengan laporan dari webiste imunitas.or.id, pada tahun 2019, kekeringan berlebihan mempengaruhi wilayah dua kali lebih luas dibandingkan dengan baseline tahun 1950 hingga 2005.

Tanpa air, kita sebagai makhluk hidup nggak akan bisa bertahan, bukan? Kekeringan ini berujung pada masalah yang lebih besar mulai dari berkurangnya suplai air minum, ternak, hingga produktivitas pangan menurun. Tak hanya itu, kekeringan juga dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan.

Terganggunya Keanekaragaman Hayati

Makhluk hidup di bumi bukan hanya manusia saja. Melainkan ada ekosistem keanekaragaman hayati meliputi tumbuhan dan hewan. Masing-masing spesies makhluk hidup memiliki rentang suhu tertentu untuk beradaptasi dan bertahan hidup. Perubahan iklim dan kenaikan suhu yang nggak terkendali, menjadikan makhluk hidup tersebut nggak mampu bertahan hidup dan terancam punah.

Terumbu karang merupakan salah satu contoh makhluk hidup yang sangat rentan terhadap kenaikan suhu. Kenaikan suhu laut menyebabkan penurunan pigmen klorofil pada jaringan. Hal ini menyebabkan alga yang hidup di terumbu karang mati dan hanya tersisa cangkang berwarna putih (proses bleaching). Ketika banyak terumbu karang yang mati tentu akan berdampak buruk pada ekosistem laut.

Menurut International Union for Conservation Nature (IUCN), laut menjadi bagian paling penting dalam melawan pemanasan global. Laut di seluruh dunia telah menyerap sekitar 93% karbondioksida yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Pada akhirnya, punahnya kumpulan spesies dan rusaknya ekosistem berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup di bumi.

Sering Terjadi Hujan Ekstrem

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, lebih dari 90% bencana pada 2020 merupakan bencana hidrometeorologi yang dipengaruhi oleh meteorologi, seperti curah hujan, angin, kelembapan, dan temperatur. Aku jadi ingat tahun 2021, beberapa kejadian banjir bandang dan tanah longsor terjadi di beberapa provinsi di Indonesia, termasuk tanah longsor yang terjadi di kabupatenku bahkan yang menimpa rumah ibuku. Saat ini, perubahan iklim ini nyata sekali, bukan?

Gelombang Panas dan Kerusakan Skala Global

Menurut lembaga asal Jerman Climate Action Tracker, pada tahun 2015, para pemimpin dunia berjanji untuk memperlambat laju pemanasan global di bawah 1,5 hingga 2 derajat celcius yang tercantum dalam Perjanjian Paris. Sayangnya, kini dunia sedang mengarah pada level kenaikkan suhu 3 derajat celcius.

Angka tersebut termasuk angka rata-rata dunia. Artinya, bisa jadi negara di bagian Utara akan mengalami kenaikan suhu sebesar 2 derajat. Sementara itu, negara di bagian Selatan bisa jadi mengalami kenaikan suhu hingga 7 derajat. Mengerikan sekali, bukan?

 

Dampak ini akan terjadi bila kita tetap egois terhadap kondisi bumi. Bahkan, dampak terburuknya adalah dapat membuat banyak tempat di dunia ini nggak layak huni. Bila suhu bumi naik sebesar 1,5 derajat celcius saja akan mempengaruhi ketinggian permukaan laut hingga 48 cm. Apalagi jika suhu bumi naik hingga 3 derajat. Hal ini tentu bisa menjadi pemicu banjir hebat yang mampu menenggelamkan kota di tepi pantai. Belum lagi, dampak ini juga berpengaruh terhadap kondisi laut karena akan memanas 16 kali lipat yang berdampak pada spesies laut dan sumber makanan. Tak hanya itu, meningkatnya suhu bumi juga akan menyebabkan gelombang panas ekstrem sehingga meningkatkan potensi kebakaran hutan.

Sebuah studi sains meramalkan jika seseorang lahir hari ini, 20 tahun mendatang ia akan mulai menyaksikan kehancuran bumi. Mulai dari semua es kutub yang mencair, bumi menjadi lebih panas 4 derajat sehingga sebagian besar bumi nggak bisa lagi dihuni. Hal itu juga diperparah dengan cuaca yang makin tak menentu, percepatan perubahan iklim secara drastis, hingga laut menjadi asam yang menyebabkan biota laut mati. Mengerikan sekali, ya? Yakin nih, teman-teman masih menganggap perubahan iklim merupakan hal yang sepele?

Cara Sederhana untuk Meminimalkan Perubahan Iklim

Teman-teman pernah merenung sebentar nggak? Kalau hidup kita dan miliaran orang di bumi ini sangat bergantung pada ekosistem alam yang teratur? Namun, alam bisa hidup tanpa kita. Coba deh, tanyakan pada hati kecil teman-teman, apakah kita akan tega terus-menerus merusak alam ini? Merusak bumi ini? Padahal bumi merupakan rumah kita. Semoga aku dan kamu dilembutkan hatinya untuk peduli dan bergerak bersama meminimalkan perubahan iklim agar kondisi bumi ini nggak makin memburuk, ya. 

Aku pun masih belajar untuk terus mencintai bumi dengan cara-cara yang sederhana. Aku sadar, aku nggak akan bisa mencegah perubahan iklim tanpa bantuan teman-teman semua. Karena memperlambat perubahan iklim hanya bisa dilakukan dengan cara bersama-sama dan konsisten. Nah, kira-kira apa sih yang bisa kita lakukan? Yuk, sama-sama berusaha melakukan hal-hal sederhana untuk bumi makin sejahtera.

Gunakan Produk Elektronik yang Hemat Energi

Jujur, setelah menikah dan tinggal berdua bersama suami, kami sangat jeli ketika memilih produk elektronik. Sebelum menentukan produk dan merek, hal pertama yang kami lakukan adalah mengecek dayanya. Bukan karena daya listrik rumah kami yang nggak kuat, melainkan agar kami bijak memanfaatkan sumber daya energi listrik. 

Selain itu, kami juga sedang mengupayakan untuk memasang panel surya agar bisa memanfaatkan energi matahari dengan maksimal. Kebiasaan membuka jendela dan membiarkan sinar matahari masuk ke dalam rumah juga bisa menghemat energi listrik, lho. Jadi, kita tak perlu menyalakan lampu di siang hari. Tips lainnya yang bisa kita lakukan adalah mencabut semua kabel atau stopkontak yang nggak digunakan.

Nah, karena kami sering bekerja di luar kota, kami juga pelan-pelan mengupayakan mengganti lampu, sakelar, dan barang elektronik yang bisa terhubung dengan smartphone kami. Dengan begitu, kami bisa mengontrol berbagai produk elektronik dari jarak jauh.

Kami jadi bisa mematikan lampu teras ketika waktu sudah pagi, meskipun kami berada di luar kota. Hal tersebut dapat menghemat energi listrik karena lampu dan barang elektronik dapat menyala dan mati secara otomatis sesuai kebutuhan. Sederhana, tetapi aku yakin bila bukan aku saja yang melakukan hal demikian, dampak baik untuk bumi akan terasa.

Pilih Berbagai Produk Lokal

Klise banget, ya? Namun, sungguh deh. Memilih produk lokal mulai dari kebutuhan sandang, pangan, dan lainnya adalah salah satu usaha untuk memperlambat perubahan iklim. Bayangkan saja bila kita membeli produk dari luar negeri, sudah berapa banyak energi dan emisi gas yang digunakan? Sayang banget, bukan? Di sisi lain, bila kita memilih produk lokal, kita juga bisa membantu UMKM Indonesia makin berkembang.

Oya, untuk bahan makanan seperti beras, sayur, dan buah, aku prefer membeli produk lokal juga. Alasannya, bukan karena aku tinggal di desa, tetapi saat aku tinggal di kota jantungnya Provinsi Jawa Tengah, aku pun lebih memilih bahan makanan lokal. Setiap mengunjungi pasar tradisional, aku antusias banget. Terlebih, bila menemukan buah-buahan dan sayuran yang memiliki tampilan ugly food atau imperfect produk, pasti harganya lebih murah. Ya kan daripada ugly food agar nggak berujung dibuang ke tempat sampah mending kita olah, toh rasanya sama-sama enak.

Biasakan untuk Menghabiskan Makanan

Ada yang punya kebiasaan nggak menghabiskan makanan? Apalagi, di bulan Ramadan ini, setiap melihat makanan bawaannya ingin membeli untuk buka puasa. Eh, tetapi malah berujung mubadzir alias dibuang karena perut sudah kenyang. Teman-teman, tahu nggak kalau kebiasaan menyisakan makanan ini menjadi salah satu kontribusi terhadap food waste? Padahal, di luar sana masih banyak orang yang nggak bisa mendapatkan makanan layak karena berbagai faktor, lho.

Aku jadi ingat beberapa tahun lalu saat menghadiri salah satu event bersama food blogger yang meninggalkan banyak makanan di meja makannya. Awalnya, aku kaget karena dia mengambil berbagai jenis makanan, dalam hatiku berkata “yakin nih orang bisa menghabiskan makanan sebanyak ini?” Ternyata, semua makanannya hanya di foto dan dicicip secuil-secuil. Setelah itu, makanan tersebut ditinggal begitu saja. Sedih banget aku. Aku yakin kok nggak semua food blogger seperti itu terlepas untuk mencari konten sekalipun. Semoga, kita bisa lebih bijak dalam urusan mengambil makanan, ya. Ambil secukupnya lalu habiskan!

Kelola Sampah dengan Baik

Tujuan memisahkan sampah organik dan anorganik tentu agar pengelolaan sampah lebih mudah. Untuk sampah organik bisa kita jadikan kompos atau pakan hewan peliharaan. Sementara itu, sampah anorganik bisa didaur ulang menjadi berbagai barang. Kita juga harus bijak terkait sampah yang setiap hari kita hasilkan. Tenang, nggak sulit, kok. Asal ada niat dan kemauan, kita bisa belajar bersama. Berikut ini 5 R yang bisa kita lakukan.

Refuse/menolak. Dengan menolak penggunaan kemasan sekali pakai tentu akan mengurangi jumlah sampah. Kita bisa membiasakan untuk membawa kantong belanja atau wadah khusus bila kita membeli makanan matang.

Reuse/menggunakan lagi. Sejak dulu, ibuku selalu memberi contoh untuk menggunakan berbagai kemasan jar atau botol kaca bekas. Misalnya, jar selai yang sudah kosong dimanfaatkan untuk menaruh bumbu dapur.

Recycle/daur ulang. Salah satu bank sampah di Purwokerto memiliki paguyuban yang ibu-ibu yang mengelola sampah plastik yang nggak bernilai menjadi sesuatu yang berharga. Kemasan kopi sachet atau kemasan detergen sachet bisa disulap menjadi tas dan dompet yang unik plus menarik. Kita juga bisa memanfaatkan kaleng atau botol bekas untuk pot tanaman hias.

Rot/compost/mengkomposkan. Khusus untuk sampah organik bisa kita olah menjadi kompos atau pupuk alami. Caranya juga nggak sulit kok, sekali lagi asalkan ada niat dan kemauan. Cukup siapkan ember yang memiliki tutup rapat, masukkan tanah, lalu siram dengan sedikit air. Setelah itu, masukkan sampah organik dan tutup kembali menggunakan tanah. Barulah, tutup ember secara rapat dan diamkan selama 3 minggu.

Tanam Pepohanan atau Tanaman Hias

Untuk teman-teman yang tinggal di perkotaan, teman-teman bisa ikut menaman tanaman hias di pot, kok. Selain itu, kita juga bisa lebih dekat dengan alam melalui donasi tanam pohon di berbagai komunitas dan platform digital.

Teman-teman pasti tahu kan, manfaat tanaman dan pohon bagi kehidupan? Pohon berfungsi untuk menyerap karbon dari udara dan menjadi salah satu rumah bagi beberapa spesies. Tak hanya itu, pohon juga berfungsi untuk menyimpan cadangan sumber daya air di dalam tanah. Dengan begitu, pohon-pohon ini dapat meminimalkan terjadinya banjir. Bila kita bisa bersahabat dengan alam, tentu alam akan melindungi kita dari berbagai bencana alam.

Yuk, Ajak Orang Sekitar untuk Ikut Peduli dengan Lingkungan

Sebenarnya masih banyak sekali cara sederhana yang bisa kita lakukan untuk meminimalkan perubahan iklim. Salah satunya dengan let’s #TeamUpforImpact untuk mengajak orang agar ikut andil untuk peduli dengan alam dan lingkungan sekitar. Nggak perlu muluk-muluk, kita bisa mengajak orang terdekat, seperti ibu, ayah, adik, kakak, suami, istri, sahabat, bahkan rekan kerja untuk lebih peduli dengan alam. Kita bisa belajar bersama untuk lebih aware terkait perubahan iklim ini. Karena kita nggak akan bisa memperlambat laju iklim jika kita melakukan semua hal baik ini sendirian. Jadi, mari ajak orang sekitar untuk sama-sama mencintai bumi ini dengan melakukan hal-hal sederhana yang konsisten. 

Yuk, Bersama-sama Kita Perlambat Perubahan Iklim

Kita bisa bersama-sama melakukan berbagai hal untuk memperlambat perubahan iklim ini. Kita hanya perlu melembutkan hati, membuka pikiran, dan sedikit peduli serta perhatian terhadap bumi ini. Karena bumi ini bukan hanya miliki kita sebagai manusia, melainkan bumi ini juga milik seluruh makhluk hidup, ekosistem, dan berbagai spesies.

Seperti kata pepatah, “Alam ini bukanlah warisan dari nenek moyang, tetapi pinjaman dari anak cucu kita.” Nah, sesuatu yang kita pinjam hendaknya harus dikembalikan secara utuh, bukan? Nggak berkurang jumlah dan kualitasnya. Jadi, yuk peduli dengan #UntukmuBumiku, karena bumi adalah sahabat kita dan inspirasi terbesar bagi kita. Apabila kita menjaga alam dan bumi, tentu alam akan menjaga kita.

Mari ubah cara pandang kita terhadap bumi ini. Pelan-pelan mendekatlah ke alam, rasakan udara sejuk yang menerpa wajah. Lantas, dengarkan kicauan burung dan derit pepohonan yang tertiup angin. Tengoklah sungai-sungai di alam yang airnya sangat jernih dan dingin. Jangan menutup mata dan telinga kita. Jangan menganggap seolah-olah kita adalah makhluk yang paling berkuasa di bumi. Nyatanya, alamlah yang menjadi sumber pernapasan manusia. Bila bumi ini rusak, terus kita akan pindah ke mana? Kita akan bernapas menggunakan oksigen dari mana? Mari mulai peduli, perhatian, dan nggak egois terhadap bumi ini. 

Kita bisa kok bersahabat dengan alam, bukan malah melawannya dan menganggap alam sebagai musuh. Yuk, lakukan hal-hal sederhana dan bijak dengan menggunakan sumber daya alam. Dengan begitu, bumi ini bisa tetap seimbang hingga anak cucu kita. Ajakan ini bukan bukan tentang menyelamatkan planet, tetapi justru untuk menyelamatkan diri kita dan keberagaman hayati.

Sumber:

  • https://www.bmkg.go.id/iklim/prakiraan-musim.bmkg
  • https://www.ucdavis.edu/climate/what-can-i-do/18-simple-things-you-can-do-about-climate-change
  • https://www.usgs.gov/faqs/what-are-some-signs-climate-change
  • https://en.wikipedia.org/wiki/Butterfly_effect
  • http://kehati.jogjaprov.go.id/detailpost/dampak-perubahan-iklim-terhadap-keanekaragaman-hayati
  • https://www.vox.com/science-and-health/2017/4/18/15272634/catastrophic-coral-bleaching-great-barrier-reef-map
  • https://www.youtube.com/watch?v=hlVXOC6a3ME
  • David Attenborough: A Life on Our Planet
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Longsor_Jemblung_2014
  • https://imunitas.or.id/3636/dampak-dan-fenomena-perubahan-iklim/
  • http://kehati.jogjaprov.go.id/detailpost/dampak-perubahan-iklim-terhadap-keanekaragaman-hayati
  • https://bobo.grid.id/read/082928433/apa-yang-dimaksud-bencana-hidrometeorologi-ini-pengertian-dan-jenisnya?page=all
  • https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/29/mayoritas-sampah-nasional-dari-aktivitas-rumah-tangga-pada-2020
  • https://dlh.palangkaraya.go.id/membuat-kompos-dari-sampah-organik/
  • https://greeneration.org/media/green-info/bumi-memanas-15-derajat-celcius-apa-akibatnya/
  • https://www.voaindonesia.com/a/korban-tewas-akibat-tanah-longsor-di-banjarnegara-meningkat/2557558.html

0 0 vote
Rating Artikel
Subscribe
Notifikasi
guest
2 Komentar
Terbaru
Terlama Paling Banyak Vote
Feedback Sebaris
Lihat semua komentar
ainun
1 Mei 2022 15:48

kalau aku belanja belanja, diusahakan membawa tas belanjaan sendiri juga mbak, kadang memang ada minimarket yang nggak menyediakan kantong plastik

Delonix Vanesta
25 April 2022 18:48

Hari bumi, mengingatkan kita bahwa kita selalu berpijak dan bergantung pada bumi