Perlambat Perubahan Iklim untuk Masa Depan yang Lebih Terjamin

Besok kita ke Dieng, yuk!

Suara ajakannya penuh harap. Aku mengangguk pelan sambil melontarkan tanya, memangnya sudah yakin besok nggak hujan? Kan sekarang cuaca di sini nggak menentu banget. Kadang, cuaca sedang cerah dan terik, eh tiba-tiba beberapa menit kemudian turun hujan disertai angin dan petir. Mungkin bukan hanya di tempat kami saja yang merasakan fenomena ini, ya?

Fenomena alam lainnya yang aku rasakan terjadi pada akhir tahun lalu. Rumah ibuku sekaligus tempat tinggalku nggak bisa ditempati lagi karena sebagian dindingnya mengalami retak yang cukup parah. Atap dan plafonnya pun beberapa kali jatuh. Selain itu, bagian belakang rumah juga amblas ke jurang. Ibuku harus merelakan rumah tersebut dan memutuskan untuk pindah rumah. Penyebab rumah kami “hampir ambruk” karena letak rumah yang memang berdekatan dengan jurang. Selain itu, ditambah pula terjadi hujan lebat secara terus-menerus selama tiga hari berturut-turut. Untung saja, nggak ada korban jiwa karena ibuku langsung mengungsi hingga saat ini rumah tersebut tak dihuni lagi.

Sama halnya dengan tanah longsor yang terjadi pada 2014 silam di tetangga desa kami. Tepatnya di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah juga terjadi tanah longsor yang sangat dahsyat. Kala itu, satu dusun tertimbun tanah longsor dan mengakibatkan 108 orang terkubur di dalam tanah. Sebanyak 95 orang ditemukan meninggal dunia dan 13 orang dinyatakan hilang. Hanya ada 15 orang selamat dalam kondisi luka-luka. Bayangkan saja, betapa mengerikan dan menakutkan saat bencana longsor terjadi secara tiba-tiba.

Orang Terkubur
0
Orang Meninggal
0
Orang Hilang
0
Orang Selamat
0

Usut punya usut, salah satu faktor terjadinya tanah longsor di Dusun Jemblung ini diakibatkan karena hujan deras selama dua hari nonstop. Memang sih, tanah longsor terjadi karena banyak faktor. Nggak hanya karena hujan saja, tetapi juga kemiringan tanah, kondisi tanah, penggundulan hutan dan lainnya.

Tak hanya ancaman tanah longsor, saat musim kemarau datang, masyarakat desa kami juga harus merasakan betapa susahnya mendapatkan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Sumur-sumur mulai kering dan hanya tersisa beberapa sumber air yang letaknya jauh dari pemukiman. Bahkan, kami pun harus membeli air agar tetap bisa memasak, mandi, dan memenuhi kebutuhan harian.

Lalu, apakah cuaca yang nggak menentu seperti hujan terus-menerus dan kekeringan saat musim kemarau merupakan salah satu akibat dari perubahan iklim? Yuk, kita bahas lebih lanjut.

Mengenal Perubahan Iklim

Sebelum berbicara jauh mengenai dampak dan penyebab perubahan iklim, kita perlu tahu terlebih dahulu, apa sih yang dimaksud iklim? Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Iklim adalah rata-rata cuaca. Nah, cuaca ini meliputi keadaan atmosfer pada suatu tempat di waktu tertentu, seperti temperatur, curah hujan atau angin yang merentang dari bulanan hingga tahunan atau jutaan tahun.

Sementara itu, perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi, seperti naiknya suhu, distribusi curah hujan, kekeringan, dan lain sebagainya. Hal ini tentu akan membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) menyebutkan Perubahan Iklim disebabkan secara langsung maupun nggak langsung oleh aktivitas manusia. Aktivitas manusia ini dapat mengubah komposisi atmosfer global berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang terdiri dari Karbon Dioksida, Metana, Nitrogen, dan lainnya, lho.

Nah, bila konsentrasi Gas Rumah Kaca makin meningkat, tentunya lapisan atmosfer akan makin tebal. Masalahnya adalah penebalan lapisan ini bisa menyebabkan banyaknya jumlah panas bumi terperangkap di atmosfer bumi. Bila hal itu terjadi terus menerus, otomatis akan membuat suhu bumi makin meningkat.

Bila suhu bumi makin meningkat tentu akan mengakibatkan berbagai masalah untuk bumi dan seisinya. Termasuk penguapan air tanah yang mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan kekeringan, kebakaran hutan, hingga gelombang panas.

Selain itu, masalah lainnya adalah terjadinya kekeringan di berbagai wilayah, hujan dengan intensitas besar, bahkan bencana alam banjir di mana-mana. Nah, sampai di sini sudah makin jelas, kan? Kalau salah satu penyebab cuaca ekstrem, hujan deras tanpa aba-aba, hingga terjadinya kemarau panjang adalah salah satu dampak dari perubahan iklim.

Bumi adalah Taman Surga Kita

Sejatinya, perubahan iklim dan kondisi bumi memang telah terjadi sejak bumi terbentuk jutaan tahun lalu. Beragam peristiwa dan perubahan kondisi bumi telah dilalui. Mulai dari bumi yang masih muda dan nggak layak huni hingga periode bumi yang sangat nyaman dihuni seperti sekarang ini. Kita bisa menyebutnya sebagai periode Holosen.

Menurut ilmuwan, periode Holosen merupakan periode yang paling stabil di antara periode sebelumnya. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, suhu rata-rata bumi nggak naik ataupun turun lebih dari satu derajat. Hal tersebut dikarenakan bumi memiliki keanekaragaman hayati yang berfungsi untuk menopang kehidupan. Seperti halnya hutan dan zooplankton yang selalu menyerap karbon untuk keseimbangan atmosfer.

Nah, dengan atmosfer bumi yang seimbang, memungkinkan tumbuhan dan hewan untuk hidup berkembang. Oleh karena itu, di daerah tropis, musim kering dan hujan akan berubah dengan mudah setiap tahunnya. Hal ini seharusnya menjadikan bumi salah satu taman surga di tata surya kita, kan? Sayangnya, nggak semua orang aware dengan hal demikian. Malah, masih banyak orang yang abai dan nggak memedulikan bumi meskipun hanya sebentar.

Kesadaran Manusia Terhadap Perubahan Iklim yang Masih Minim

Dulu saat aku duduk di bangku SMP, dampak perubahan iklim sering diulang-ulang oleh guru IPS. Namun, pada saat itu, aku beranggapan bahwa isu perubahan iklim hanya sebuah dongeng semata. Terlebih saat itu, aku belum bisa merasakan dampak yang signifikan dari perubahan iklim dalam kehidupan sehari-hari.

Perubahan iklim nyaris nggak terlihat secara kasatmata dari hari ke hari. Namun tanpa sadar, perubahan iklim ini akan memberikan dampak yang besar di masa mendatang. Ibaratnya seperti istilah butterfly effect dalam chaos theory, di mana perubahan kecil pada suatu sistem dapat memberikan dampak besar di kemudian hari.

Saat ini, setelah belasan tahun lulus dari SMP, aku merasakan betul percepatan perubahan iklim. Bahkan, dampaknya sudah mulai aku rasakan, belum lagi dampak-dampak lainnya yang seolah menanti di depan mata. Lantas apa yang menyebabkan perubahan iklim makin cepat, sih? Kenapa aku dan sebagian orang nggak sadar akan hal tersebut?

Ulah Manusia, Salah Satu Penyebab Perubahan Iklim makin Cepat

Meskipun bumi layaknya taman surga bagi penghuninya, tetapi bumi merupakan rumah yang terbatas. Manusia sebagai salah satu penghuni bumi justru secara terus menerus mengeksploitasi bumi. Banyak orang yang menganggap bahwa bumi adalah sumber daya yang nggak ada habisnya. Padahal, bila bumi nggak kita rawat, perubahan iklim yang seperti sekarang ini bisa terjadi makin parah.

Memang, saat ini kita hidup di era yang serbacepat dan serbapraktis setiap hari. Kecerdasan membuat manusia lebih cepat berevolusi dan memenuhi kebutuhannya. Semua kebutuhan kita tercukupi akibat perkembangan dan kemajuan teknologi. Secara nggak langsung, cara hidup manusia zaman sekarang membuat keanekaragaman hayati menurun, bahkan terancam punah. Hal ini akibat ketidaktahuan kita bagaimana menjaga lingkungan dan bagaimana peduli terhadap sekitar.

Kita merupakan satu-satunya spesies yang dapat mengancam kelangsungan hidup di bumi, lho. Bahkan, fakta menunjukkan seiring pertumbuhan manusia yang makin meningkat, keberadaan alam liar di bumi pun makin menurun. Seperti pada tahun 1937, ketika populasi manusia mencapai 2,3 miliar, persentase alam liar di bumi masih 66%. Sementara itu, pencemaran karbon di udara masih relatif rendah, yaitu 280 bagian per sejuta. Coba saja kita bandingkan dengan data terbaru di tahun 2020, dimana populasi global telah menyentuh 7,8 miliar. Sementara itu, pencemaran karbon juga meningkat hingga 415 bagian per sejuta. Nah, yang paling mengejutkan adalah pada tahun 2020 keberadaan alam liar di bumi hanya tersisa 35% saja.

Statistik Keadaan Bumi Tahun 1937