Aku masih ingat betul saat menyaksikan sebuah iklan perumahan yang sangat menarik di salah satu stasiun televisi. Perumahan ini memiliki konsep hunian terintegrasi dengan beragam layanan. Kala itu, aku bersama nenek, bulik, dan beberapa tetangga sedang menyaksikan sinetron kesayangan. Setiap hari, rumahku selalu ramai kedatangan saudara dan tetangga yang ingin menyaksikan televisi. Maklum, sekitar tahun 2005 bisa dihitung dengan jari siapa saja yang memiliki televisi.
Lahir dan tinggal di tempat yang cukup terpencil membuatku selalu membayangkan bagaimana rasanya tinggal dan hidup di perkotaan. Bahkan, aku pernah menyematkan mimpi untuk memiliki rumah dengan konsep “smart living” seperti iklan yang setiap weekend aku saksikan. Meskipun dalam hati berkata “Ah, rasanya tidak mungkin aku bisa mencicipi tinggal di perkotaan dan memiliki rumah yang terintegrasi dengan berbagai kemudahan dan kenyamanan.”
Namun, nyatanya pelan-pelan aku bisa merasakan kesempatan tinggal di tempat yang sedikit “kota” dibandingkan dengan tanah kelahiranku. Sebulan pertama tinggal di kabupaten tetangga, aku yang duduk di bangku SMP selalu takjub saat menyaksikan lalu lalang kendaraan dan bus-bus besar yang cukup padat. Ada rasa bahagia saat mata ini bisa menyaksikan langsung pemandangan yang biasanya hanya bisa dilihat di televisi.
Aku juga rela menyisihkan uang jajan supaya dapat menuntaskan rasa penasaran menaiki angkutan umum dan menginjakkan kaki di swalayan. Kalau diingat, membuatku tersenyum dan haru dibandingkan dengan keadaan sekarang ini, ya? Namun, aku sangat bersyukur karena gadis desa ini pelan-pelan dapat mewujudkan impian memiliki rumah dengan konsep smart home.
Beruntungnya aku dipertemukan dengan seorang technology enthusiast yang sekarang menjadi suamiku. Tahun pertama menikah kami tinggal di jantungnya Jawa Tengah, Semarang. Mau tidak mau, pekerjaanku sebagai guru honorer di kampung halaman aku lakukan secara daring. Kebetulan saat itu proses belajar mengajar dilakukan secara online karena pandemi COVID-19. Namun, permasalahan mulai muncul karena wali murid di sekolahku belum begitu aware dengan pemanfaatan teknologi. Maklum, sinyal di kampung halaman kami tidak sebagus dan selancar di kota besar.