Setelah selesai makan siang, seperti biasa aku memanfaatkan sisa waktu istirahat untuk melihat berbagai informasi yang sedang tren di platform media sosial. Pelan-pelan, aku mengusap layar handphone sambil mencari video atau konten yang menarik dan inspiratif.
Sampai akhirnya, mata dan jemariku kompak berhenti di salah satu influencer yang sedang melakukan mix and match hanya dengan beberapa pakaian yang ia miliki. Jujur, sejauh ini aku belum pernah menjumpai atau menemukan orang yang benar-benar menerapkan konsep capsule wardrobe ini.
Capsule wardrobe merupakan gaya hidup minimalis dengan pilihan pakaian yang dibatasi. Melihat video influencer tersebut seolah menyadarkanku terutama dalam hal sustainable fashion. Nah, dalam artikel ini, aku akan berbagai sekelumit cerita bagaimana dampak dunia fashion terhadap bumi ini.
Aku juga akan sharing tips-tips yang bisa kita lakukan agar tetap fashionable tanpa merusak bumi. Aku yakin, jika tips-tips di bawah ini kita lakukan bersama-sama secara konsisten, maka akan memberikan dampak positif yang nyata. Sebelum itu, mari kita tengok dan renungkan kerusakan dan dampak negatif yang diakibatkan oleh fashion.
Kerusakan bumi merupakan masalah serius yang sedang kita hadapi, bukan? Misalnya, polusi udara, limbah yang mencemari tanah, hingga limbah yang mencemari perairan yang berdampak pada kestabilan ekosistem makhluk hidup di bumi. Parahnya, dampak tersebut akan berpengaruh besar pada perubahan iklim.
Sebenarnya, ada banyak faktor yang memicu timbulnya kerusakan lingkungan, apalagi jika penyebarannya cukup kompleks dan terjadi secara masif. Salah satu hal yang sering kita lupakan adalah kerusakan bumi yang diakibatkan oleh industri fashion termasuk perilaku masyarakat dalam menyikapi tren fashion.
Memang, keelokan dan pesona dunia fashion bisa menginspirasi dan membawa kebahagiaan bagi banyak orang. Namun, pesona fashion juga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan jika kita tidak bijak memanfaatkannya. Penasaran apa saja kerusakan bumi yang bisa terjadi akibat industri fashion? Yuk, simak artikel ini hingga selesai!
Teman-teman, tahukah jika sebagian besar industri fashion atau tekstil sangat bergantung pada Sumber Daya Alam (SDA) tidak terbarukan? Bahkan, jumlahnya fantastis hingga 98 juta ton per tahun. Sumber daya alam tersebut meliputi minyak untuk memproduksi serat sintetis, pupuk anorganik, dan bahan kimia lain yang digunakan untuk proses mewarnai dan finishing.
Selain sumber daya alam tidak terbarukan, produksi tekstil juga menggunakan sekitar 93 miliar meter kubik air per tahun. Banyaknya penggunaan sumber daya yang besar juga akan berdampak pada masalah baru, yakni kelangkaan air. Aku sempat terkejut saat menemukan data dari World Wildlife Fund (WWF), pasalnya untuk membuat satu baju katun saja membutuhkan air sekitar 2.700 liter. Jumlah air tersebut setara dengan air yang diminum untuk satu orang dalam 2,5 tahun, lho. Sangat disayangkan, bukan?
Penggunaan sumber daya alam yang berlebihan tentu saja akan merusak keseimbangan ekosistem. Jika ekosistem rusak, hal ini akan berpengaruh pada kualitas udara, ketersediaan air, hingga terjadinya pemanasan global.
Industri tekstil juga berkontribusi besar dalam pencemaran air oleh limbah kimia yang digunakan saat proses produksi. Pasalnya, ada banyak industri tekstil yang membuang air dengan kandungan bahan kimia berbahaya ke lingkungan. Menurut data dari Ellen McArthur Foundation, 20% polusi air yang disebabkan oleh industri berasal dari limbah pewarnaan dan zat kimia tekstil. Zat kimia ini dapat membahayakan lingkungan sekitar, pertanian, bahkan para pekerja pabrik sendiri.
Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir, industri tekstil diyakini menjadi salah satu penyumbang pencemaran plastik di laut. Kira-kira apa hubungannya industri tekstil dengan pencemaran plastik di laut? Padahal, industri tekstil tidak berfokus pada produksi plastik, kan? Nah, ternyata sebagian produk tekstil ini berbahan dasar plastik, lho. Ada material, seperti poliester, nilon, atau akrilik yang menjadi penyebabnya.
Selama proses produksi, beberapa serat mikroplastik atau microplastic fiber terlepas dan berakhir di laut. Diperkirakan sekitar setengah juta ton serat mikroplastik menyumbang polusi air setiap tahun. Jika hal ini terus berlanjut, diperkirakan total ada 22 juta ton serat mikroplastik yang masuk ke laut dari tahun 2015 hingga 2050.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi laut jika hal tersebut terjadi. Pasalnya, limbah mikroplastik ini dapat mengancam habitat dan biota laut. Lebih parahnya lagi, serat mikroplastik juga dapat masuk ke tubuh manusia melalui makanan laut yang dikonsumsi. Mengerikan, bukan?
Selain pencemaran air, sektor fashion juga berpengaruh pada pencemaran udara, lho. Pada tahun 2015, emisi gas rumah kaca dari industri tekstil mencapai 1,2 miliar ton. Polusi udara tersebut terbilang besar, mengingat jumlahnya bahkan lebih besar dibandingkan gabungan gas emisi dari semua penerbangan internasional dan pelayaran laut.
Selain itu, menurut World Resource Institute, produksi poliester menghasilkan gas rumah kaca sebesar 706 miliar kg. Emisi gas tersebut setara dengan pengoperasian 185 pembangkit listrik tenaga batu bara setiap tahunnya.
Pencemaran udara oleh emisi gas rumah kaca (CO₂) ini tentu dapat memicu pemanasan global. Jika hal ini tetap berlanjut akan berdampak pada perubahan iklim ekstrem yang lebih intens. Misalnya, terjadinya bencana gelombang panas, kekeringan, hingga badai yang lebih kuat dan sering terjadi.
Hal ini yang membuat aku sangat tertarik untuk terus belajar bijak dalam berpakaian. Karena, pakaian yang kita gunakan bisa menyebabkan dampak yang lebih “mahal” dibandingkan uang yang kita keluarkan saat membelinya.
Kerusakan bumi yang dipicu oleh industri fashion tidak hanya itu, pengelolaan limbah fashion yang buruk juga dapat mencemari tanah. Menurut data dari Ellen McArthur Foundation, 87% bahan pakaian berakhir di tempat pembuangan atau pembakaran setelah selesai digunakan. Pengelolaan sampah dan sistem daur ulang yang buruk menjadikan limbah tekstil ini tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
Limbah tekstil yang berakhir di tempat pembuangan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada lingkungan. Hal ini karena limbah tekstil berbahan serat plastik tidak akan terurai hingga beberapa puluh tahun. Lebih parahnya, produk berbahan poliester bahkan dapat terurai hingga 200 tahun. Padahal 60% produksi pakaian saat ini terbuat dari bahan plastik sintetis seperti nilon, poliester, dan akrilik.
Teman-teman, mari coba renungkan bersama-sama, kira-kira satu baju yang saat ini kita pakai membutuhkan berapa banyak sumber daya alam? Minyak, air, dan sumber daya alam lainnya sudah sepatutnya tidak kita eksploitasi hanya untuk kesenangan semata. Belum lagi dampak lingkungan yang dipicu oleh berbagai limbah industri fashion.
Karena itu, sekarang sudah saatnya aku, kamu, kita semua aware dengan apa yang kita pilih. Istilah trennya adalah conscious consumption atau konsumsi secara sadar. Dengan begitu, saat kita membeli sesuatu bukan hanya memperhatikan nilai ekonomis dan fungsinya saja. Namun, kita juga harus mempertimbangkan dampak yang mungkin ditimbulkan.
Selain menerapkan konsep conscious consumption, kita juga perlu mengenal sustainable fashion untuk meminimalkan dampak dari industri fashion terhadap kestabilan ekosistem. Aku yakin, sebagian besar teman-teman sudah tidak asing dengan istilah sustainable fashion atau fashion berkelanjutan, kan?
Jadi, sustainable fashion merupakan gerakan yang menuntut supaya industri tekstil lebih mengutamakan lingkungan dan sosial dengan mengurangi dampak negatif. Tujuannya, untuk menciptakan pakaian yang ramah lingkungan termasuk untuk mengurangi polusi dan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan.
Saat kita memutuskan untuk menerapkan konsep sustainable fashion, ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan. Artinya, ada standar yang menentukan pakaian atau industri tekstil tersebut benar-benar berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Hal ini meliputi penggunaan bahan berkelanjutan, proses produksi ramah lingkungan, hingga dampak positif jangka panjang. Berikut ini ada tiga kriteria utama sustainable fashion yang bisa menjadi salah satu upaya dalam mengatasi dampak negatif industri tekstil dan fashion.
Jika diterapkan dengan baik, sustainable fashion atau mode berkelanjutan ini memiliki beberapa manfaat yang berdampak positif, baik bagi lingkungan maupun masyarakat. Semoga beberapa manfaat di bawah ini bisa melembutkan hati kita sekaligus membakar semangat untuk menerapkan sustainable fashion di kehidupan sehari-hari.
Jujur, aku memang belum sepenuhnya bijak dalam memanfaatkan pakaian. Namun, aku belajar dari berbagai dampak industri fashion yang bisa saja merusak bumi. Menurutku, hal ini bisa disiasati dengan kolaborasi industri tekstil dan kesadaran masyarakat untuk menerapkan sustainable fashion. Berikut ini ada beberapa hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk tampil bergaya tanpa merusak lingkungan dan kestabilan ekosistem.
Bertambahnya usia membuatku makin sadar mana kebutuhan mana keinginan termasuk perihal pakaian. Aku prefer membeli pakaian yang bisa bertahan lama alias lebih mengutamakan kualitas. Selain itu, saat waktunya membeli pakaian, aku benar-benar mempertimbangkan berbagai aspek, misalnya pakaian yang terbuat dari bahan alami hingga model pakaian yang benar-benar aku butuhkan dan aku sukai.
Hal ini bisa menjadi salah satu solusi untuk meminimalkan pakaian yang berujung dibuang atau tidak terpakai. Aku pun membatasi diri, suami, dan anakku untuk membeli pakaian sesuai kebutuhan. Dengan memanfaatkan pakaian lebih lama, maka kita bisa mengurangi siklus cepatnya mode sekaligus mengurangi konsumsi berlebihan.
Aku senang sekali saat melihat berbagai konten yang menyuguhkan gaya mix and match pakaian. Pasalnya, aku sedang belajar untuk tampil stylish dan tampak trendi tanpa membeli atau menambah koleksi pakaian. Harapannya, jika memadukan berbagai pakaian yang dimiliki akan mendapatkan look yang berbeda dan fresh. Dengan begitu, aku tidak perlu membeli pakaian baru untuk tampil modis.
Siapa di sini yang suka DIY pakaian rusak ringan? Sejak aku duduk di bangku sekolah menengah atas, aku memiliki ketertarikan untuk mencoba berbagai DIY pakaian yang rusak ringan. Misalnya nih, rok panjangku yang berlubang di bagian bawah karena terkena knalpot motor, aku guntung selutut sehingga bisa dipadu padankan dengan legging. Alhasil, bisa tampil stylish tanpa buang-buang uang dengan modifikasi rok yang berlubang.
Sebenarnya, jika kita mau berkreasi ada banyak pakaian yang tidak terpakai bisa diubah menjadi barang-barang bermanfaat. Aku pun pernah membuat tas mini dari celana jeans yang bagian lututnya berlubang karena kecelakaan. Jadi, aku ambil bagian atas celana jeans yang masih utuh, lalu aku jahit manual menggunakan tangan. Untuk talinya, aku manfaatkan celana jeans bagian lutut, lalu dibagi menjadi tiga bagian memanjang dan dikepang, deh. Sederhana tetapi tampak unik, bukan? Hal ini bisa menjadi salah satu cara daur ulang dan mengurangi pembuangan pakaian.
Tips selanjutnya yang bisa dilakukan untuk meminimalkan penumpukan pakaian adalah mendonasikan pakaian yang tidak terpakai. Namun, sebaiknya manfaatkan pakaian sampai pakaian tersebut benar-benar tidak bisa dipakai lagi, ya. Nah, jika teman-teman memiliki bayi seperti aku, aku memilih mendonasikan pakaian-pakaian bayi yang masih bagus dan layak pakai untuk saudara atau orang yang membutuhkan. Beberapa pakaian bayi anakku juga ada yang turun temurun dari keponakan. Selain dapat membantu orang lain, aku juga bisa mengurangi limbah dan membuat lemari lebih rapi.
Setelah aku tahu betapa banyak sumber daya alam yang digunakan untuk membuat satu pakaian, aku mulai tersadar. Kalau pun aku membutuhkan pakaian baru, aku akan memilih pakaian yang diproduksi menggunakan bahan dan proses produksi yang ramah lingkungan. Misalnya, kain berbasis serat alami seperti viscose rayon yang diproses dari pohon dengan pengelolaan secara berkelanjutan oleh Asia Pacific Rayon (APR) dan Sateri. Kedua perusahaan tersebut dikelola oleh Royal Golden Eagle (RGE) yang menerapkan sistem produksi secara berkelanjutan.
Royal Golden Eagle (RGE) mengelola perusahaan-perusahaan bertaraf internasional yang bergerak di bidang manufaktur berbasis sumber daya alam dengan produk-produk yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Misalnya, pulp dan kertas, kelapa sawit, selulosa khusus, serat viscose, hingga pengembangan sumber daya energi.
Menariknya, RGE mengambil tanggung jawab keberlanjutan dan sosial melalui berbagai inisiatif untuk memastikan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab dan memberikan dampak positif terhadap komunitas lokal.
Tercatat, RGE mempekerjakan lebih dari 60.000 tenaga dan memiliki operasi di berbagai negara Asia, seperti Indonesia, Tiongkok, Brasil, Spanyol, dan Kanada. Tak hanya itu, RGE juga masih terus melebarkan sayapnya untuk melibatkan pasar dan komunitas baru.
RGE memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup melalui pengembangan sumber daya secara berkelanjutan. Oleh karena itu, RGE berpegang pada filosofi bisnis 5C yang diterapkan dalam setiap operasional perusahaan. Harapannya, dengan filosofi ini RGE dapat meningkatkan kualitas di segala aspek kehidupan.
Nah, setelah kita tahu dampak negatif dari industri tekstil terhadap lingkungan, sekarang saatnya kita tengok bagaimana perusahaan dari RGE Group menciptakan inovasi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Di bawah ini ada beberapa inovasi RGE di bidang industri tekstil dari Sateri dan APR. Sebenarnya, banyak inovasi dan terobosan lain dari RGE dalam sustainability, tetapi aku akan membahas inovasi yang berkaitan dengan dunia fashion seperti FINEX dan Follow our Fibre.
Sateri adalah salah satu produsen terbesar dalam bidang viscose rayon. Teman-teman tahukah jika viscose rayon ini merupakan serat alami yang terbuat dari pohon yang ditanam di perkebunan yang dikelola secara berkelanjutan? Nah, serat alami ini dapat terurai sendiri (biodegradable) karena ramah lingkungan. Oleh karena itu, viscose rayon menjadi pilihan populer untuk pakaian, bahan rumah tangga, dan berbagai produk kebersihan.
Salah satu inovasi Sateri yang terbuat dari serat alami adalah FINEX. FINEX (kependekan dari “Fibre Next”) merupakan serat alami generasi terbaru yang mengandung bahan daur ulang. Dalam pembuatannya, FINEX menggunakan serat alami yang berasal dari campuran limbah tekstil dan bahan daur ulang.
Dengan menggunakan produk yang terbuat dari FINEX, setidaknya kita bisa ikut berkontribusi dalam sustainability. Oh iya, jangan khawatir, meski berasal dari bahan daur ulang, produk yang terbuat dari FINEX juga nyaman dipakai. Karena bahannya lembut, ramah di kulit, dan tidak membuat gerah. Selain itu, warna yang dihasilkan juga tampak cerah. Karena itu, kita masih bisa melindungi bumi dengan tetap bergaya, kan?
Sebagai konsumen yang peduli lingkungan, kita harus tahu dari mana produk kita berasal, bukan? Apakah berasal dari sumber yang terbarukan? Apakah dikelola secara bertanggung jawab? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sering membuat kita penasaran.
Menariknya, Asia Pacific Rayon (APR) meluncurkan inovasi Follow our Fibre. Follow our Fibre merupakan aplikasi berbasis blockchain untuk melacak sumber bahan serat dari seluruh rantai pasokan. Selain itu, kita sebagai pelanggan bisa melacak perjalanan produk dari tahap produksi hingga ke sumber penanaman bahan serat untuk mengetahui asalnya.
Melalui teknologi blockchain, data produksi mulai dari lokasi penanaman, tanggal, pengiriman terekam secara realtime. Data ini dapat diakses secara publik dan tidak dapat diubah oleh siapapun sehingga menjamin kevalidan data dan transparansi. Pelanggan atau stakeholder hanya perlu memindai barcode menggunakan aplikasi untuk melihat semua data produksi. Dengan begitu, terjawab sudah semua pertanyaan dan kekhawatiran kita tentang asal muasal produk yang kita pakai.
Ingat, bergaya tidak perlu merusak buana, tetapi kita dapat bersua untuk saling memberi makna.
Ella Fitria
RGE berperan sebagai penyuplai bahan tekstil ramah lingkungan yang menjadi pionir berbagai perusahaan yang berfokus pada sustainability dan masa depan yang lebih baik. Sementara itu, tugas kita adalah menjadi konsumen yang bijak dan bertanggung jawab. Secara tidak langsung, dengan memilih produk-produk ramah lingkungan, kita juga mendukung merek-merek industri fashion yang peduli terhadap lingkungan dan sosial.
Semoga melalui artikel ini bisa melembutkan hati dan kesadaran kita untuk mengambil peran dalam mendorong perubahan positif khususnya dalam dunia fashion dan sustainable living. Kita bisa memulainya dengan cara sederhana seperti yang sudah aku tulis di atas. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga bumi untuk masa depan yang lebih baik? Ingat, bergaya tidak perlu merusak buana, tetapi kita dapat bersua untuk saling memberi makna.
Sumber referensi:
Ellen MacArthur Foundation, A new textiles economy: Redesigning fashion’s future, (2017, http://www.ellenmacarthurfoundation.org/publications)
https://www.wri.org/insights/numbers-economic-social-and-environmental-impacts-fast-fashion
https://www.wri.org/insights/apparel-industrys-environmental-impact-6-graphics
https://www.aprayon.com/en/media-english/articles/what-is-sustainable-fashion/
https://www.aprayon.com/en/media-english/articles/why-viscose-fabric-is-the-future-of-the-fashion-industry/
https://www.rgei.com/id/keberlanjutan/kepedulian-sosial
https://www.rgei.com/id/keberlanjutan/kepedulian-pada-negara
https://www.rgei.com/id/keberlanjutan/perlindungan-iklim
https://www.rgei.com/id/tentang-kami/perusahaan-kami
https://www.rgei.com/attachments/article/1250/20190515%20-%20Follow%20Our%20Fibre%20Press%20Release.pdf
makasih banyak tipsnya ya mba, aku juga allhamdulillah dapet lungsuran nggak begitu banyak beli, semoga kita jadi orang-orang yang menjadi penyelamat bumi
Sakjane ya mbak ella saya sangat setuju istilah pakai dulu barang yang dipunya sampek rusak baru beli baru baru.
Masalahnya lingkungan terdekat saya itu selalu menyudutkan saya soal pakain nggak pernah ganti. Katanya pakaian aku jelek, tiap bulan harus beli pakaian lah, kalo sudah gini gimana ya. Dikasih paham susah, karena berprinsip pakain seng bagus, mahal, harus gonta ganti
Serius, Mbak? Ya ampun, kok bisa-bisanya ada yang berpikiran begitu, ya? Kalau saranku sih, nggak usah diambil hati, biarin aja toh Mbak ga merugikan mereka. Lagi pula, kalau tiap bulan beli pakaian ya boncos, eh tp mungkin mereka kalangan sultan, ya? Wkwkwk
Selain nggak usah diambil hati, Mbak bisa berusaha untuk menyebarkan edukasi terkait hal ini, misalnya dengan menyebarkan infografis melalui whatsapp atau medsos lain yang bisa dijangkau mereka. Siapa tahu, hati dan pikiran mereka pelan-pelan bisa terbuka
Suka banget dengan tulisan ini, tidak banyak yang tahu lho, tepatnya sadar kalau fashion bisa berpengaruh ke kondisi alam, aku juga cendrung mix and match pakaian, dan fashionku dari awal pakai jilbab sampai sekarang gak berubah.
Terima kasih, Mbak Linda
Yuk, tetap semangat untuk memberikan inspirasi khususnya di dunia fashion demi masa depan yang lebih baik 🙂
Betah banget aku baca post-nya Kak. Aku pun turut menerapkan punya pakaian secukupnya saja dan sering mixand match agar bisa berganti-ganti gaya sesuai kebutuhan. Kalau mendonasikan pakaian, saat ini aku belum sih, karena memang sedari lama, aku menerapkan punya pakaian secukupnya. Tapi ketika pakaianku sudah nggak layak pakai, aku saat ini terbiasa mengirimkannya ke waste management yang khusus mengolah limbah textile.
Senang banget sekarang aku bisa sedikit berkenalan dengan Royal Golden Eagle.
Sama, Mbak. Aku pun punya pakaian nggak banyak. Yang aku donasikan pakaian-pakaian bayi karena anakku udh mulai besar, jadi sayang banget kalau pakaian bayinya nganggur aja. Toh masih bagus-bagus banget karena cuma dipakai beberapa bulan aja, hihi
Hm,, jadi terinspirasi untuk nantinya memilih pakaian yang diproduksi menggunakan bahan dan proses produksi yang ramah lingkungan.seperti kain berbasis serat alami produksi Asia Pacific Rayon (APR) dan Sateri yang dikelola oleh Royal Golden Eagle (RGE) ini
Yuhu, Mbak Dian. Semoga ke depannya makin banyak yang aware terkait hal ini, yaa
Saya jadi makin sering lihat lemari
Beli 1 keluar 2
Itu cara saya memperlakukan pakaian
Ide bagus, nih, Mbak. Selain bikin pakaian nggak menumpuk, kita juga jadi pikir-pikir beberapa kali kalau mau beli baju, yaa
Saya rasa saya termasuk orang yang memakai pakaian dan menggunakannya untuk waktu yang lama.
Kalau masih bagus gak akan beli yang lain.
Beli kalau memang diperlukan saja.
Jika ada pakaian yang tidak memungkinkan untuk digunakan lagi, dan masih bagus, biasanya saya berikan ke yang mau atau yang membutuhkan sih.
tos, Mbak Vivi. Terima kasih sudah berbagai pengalaman menarik yang menginspirasi, ya. Semoga di luar sana banyak juga yang menerapkan konsep seperti Mbak Vivi terkait pakaian
Alhamdulillah saya gak beli baju lagi. Mencukupkan diri dengan beberapa baju dan jilbab yang dipadu padan saja. Memang ngeri banget mikroplastik bagi tubuh. Bisa menjadi penyebab penyakit berat seperti kanker.
Makasih, Mbak Icha. Semoga makin banyak orang yang sadar dampak negatif jika memiliki sifat konsumtif terutama dalam hal pakaian
Saat ini, bahan ramah lingkungan untuk pakaian memang sudah menjadi urgensi ya, Ella. Salah satu hal yg bisa dilakukan juga adalah dengan membeli pakaian pre loved. Banyak juga kok pakaian pre loved bagus2.
Setuju, Mbak Niar. Namun, perlu digarisbawahi bila menyukai pakaian pre loved, wajib mempertimbangkan berbagai hal, jangan hanya karena tergiur harga lebih terjangkau, terus akhirnya memborong pakaian yang belum tentu digunakan. uhuhuhu
Sempet anuu nih sama RGE, eh ternyata konsepnyaa ramah lingkungan yak ini.. aku baru tahu kalo mereka juga mengelola bahan bahan kain seperti ini. keren mba ellaa
Iya, Mbak Jihan, karena RGE fokus terhadap pengelolaan industri yang berkelanjutan 🙂
Pilihan fashion kita ternyata bisa menjadi andil dalam kelestarian bumi ya mbak
Sudah saatnya kita memilih sustainable fashion
Artikel yang super lengkap dan bikin jleb…Berasa dijewer rasanya. Padahal siapa saja bisa ya mengambil peran dalam mendorong perubahan positif khususnya dalam dunia fashion dan sustainable living ini dengan mix & match pakaian kita, donasi, pilih bahan eco friendly..dan lainnya
Wah ternyata dampak kerusakan lingkungan dari fashion sangat luarbiasa. Mulai sekarang harus lebih aware serta bijak dalam memilih dan menggunakan produk fashion.
Bagus banget nih Royal Golden eagle dalam mengembangkan kain rayon viscose yang ternyata biodegradable ya. Dampaknya juga insyaAllah benar-benar berkelanjutan bagi lingkungan
Wah luar biasa ternyata ya dampak dari industri fashion ini terhadap lingkungan, nggak main-main damage-nya. Dan ketika kita beralih ke sustainable fashion, maka dampaknya juga cukup signifikan.
Aku cukup bangga sih sama diri sendiri, karena (kebetulan) nggak dalam posisi butuh banyak punya pakaian jadi selama bajunya muat dan nyaman dipakai, aku abuse sampai sudah nggak layak pakai lagi. Segitu aja aku masih harus sering decluttering baju2 dari lemari, bikin stress. hehe.
Kadang memang kita kurang memperhatikan hal-hal semacam ini ya Kak. Untuk membuat baju saja ribuan liter air bersih harus dibuang percuma. Sebagai pribadi yang kadang masih tertarik dengan produk-produk industri fast fashion, jika baca artikel ini rasanya seperti tertampar. Kerusakan lingkungan yang sudah dibuat ternyata bukan main-main. Memang belajar menerapkan gaya hidup minimalis perlu dilakukan semua orang sejak dini.
Seringkali aku berpikir mengenai dunia fashion. Sebenernya kita gak perlu buru-buru berganti gaya ya.. karena biasanya fashion itu berulang. Dan lebih bijak kalau menghemat pengeluaran membeli pakaian dengan model yang long-lasting.
Aku jadi kenalan sama FINEX nih..Jadi ingin mencari tahu lebih banyak mengenai Asia Pacific Rayon (APR) yang bisa menjelaskan data produk yang kita pakai, agar lebih menghargai proses sebuah produksi.
Sudah saatnya kita menyelamatkan bumi dengan menerapkan sustainable living di segala aspek kehidupan termasuk fashion. Walaupun terdengar sederhana tapi dampaknya besar juga ya
Kalau soal pakaian, aku udah lumayan minimalis sih. Lebih memilih bahan yang tahan lama agar ga harus sering beli.