Hidup di desa itu tenang, tetapi bukan berarti tanpa tantangan"
Kutipan di atas sebenarnya cukup sederhana, menggambarkan bahwa di balik kehidupan desa yang tampak damai terdapat segudang tantangan. Tantangan ini makin terasa bagi mereka yang sudah terbiasa dengan kenyamanan hidup di perkotaan, seperti saya.
Beberapa tahun lalu, saya memutuskan untuk meninggalkan Kota Semarang dan menetap di sebuah desa, tepatnya di perbatasan Banjarnegara – Purbalingga, Jawa Tengah. Dalam benak saya, terbayang kehidupan yang tenang, udara segar, serta ritme hidup sederhana yang jauh dari hingar-bingar perkotaan. Namun, tak lama setelah pindah, realitas mulai berbicara.
Kebiasaan hidup di kota yang menyediakan segala sesuatu dengan begitu praktis membuat adaptasi di desa terasa seperti perjalanan penuh liku. Di kota, fasilitas seperti ATM mudah ditemukan di berbagai lokasi strategis. Berbagai kebutuhan sehari-hari juga tersedia dengan lengkap. Ditambah dengan kemudahan akses transportasi online kapan saja dan di mana saja.
Kehidupan yang tadinya serbainstan kini berubah menjadi perjalanan panjang yang sering menguji kesabaran, terutama dalam mengurus kebutuhan finansial. Ketidakpraktisan yang awalnya saya anggap sederhana, perlahan menjadi tantangan besar. Sesuatu yang dulu hanya butuh beberapa klik, sekarang memerlukan waktu, tenaga, dan rencana matang. Transisi dari kehidupan kota ke desa ternyata lebih dari sekadar perubahan lokasi karena menuntut cara pandang baru untuk menyikapi setiap keterbatasan.
Sebagai administrator di sebuah perusahaan Jepang, pekerjaan saya menawarkan fleksibilitas untuk bekerja dari rumah. Meskipun fleksibel, jam kerja saya tetap terstruktur, layaknya jam kantor pada umumnya.
Seluruh gaji saya diterima melalui transfer digital. Hal ini tidak menimbulkan masalah selama saya tinggal di kota. Namun, setelah saya menetap di desa, saya menghadapi kesulitan dalam menggunakan uang secara cashless atau melalui rekening. Jadi, setiap kali membutuhkan uang, saya harus melakukan tarik tunai di ATM.
Satu-satunya ATM yang bisa saya akses terletak di unit BRI yang berjarak sekitar 15 menit dari rumah. Jadi, ketika saya membutuhkan uang tunai, perjalanan ini menjadi rutinitas yang tidak bisa dihindari. Terlebih, saat kebutuhan mendesak datang tiba-tiba. Misalnya, saat saya harus membeli bahan makanan tambahan di tukang sayur keliling atau saat anak saya mendadak sakit dan membutuhkan obat. Lagi-lagi, saya harus menyisihkan waktu untuk menempuh perjalanan yang lumayan jauh menuju ATM terdekat.
Di awal saya menetap di desa, saya menyadari bahwa masyarakat sekitar sangat ketergantungan dengan uang tunai. Semua toko di desa saya belum menerima pembayaran digital sehingga uang tunai menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.
Pernah suatu malam, dalam keadaan mendesak, saya kehabisan uang tunai. Sementara itu, di luar, hujan turun begitu deras. Tidak ada pilihan lain, saya pun meminta suami untuk segera pergi ke ATM. Saya tahu, perjalanan menuju ATM bukan hal yang mudah. Dia harus keluar malam, basah kuyup dihantam hujan, dan melewati jalanan sepi di pinggiran hutan yang gelap. Setiap kali dia pergi dalam kondisi seperti itu, saya selalu merasa kasihan. Seandainya, sistem cashless lebih mudah diakses di desa kami, tentu urusan finansial akan lebih praktis.
Kejadian seperti ini sering membuat saya merindukan kemudahan hidup di kota karena segala sesuatu bisa dilakukan dengan cepat dan praktis melalui layanan digital. Jika di desa, rasanya setiap transaksi membutuhkan waktu dan usaha ekstra.