Di setiap helai akar yang terpendam, lengkuas menyimpan cerita tanah yang subur dan tangan-tangan penuh harapan.
Mentari pagi baru saja menyelinap di balik pepohonan saat deretan tangan cekatan mulai menggali tanah yang gembur. Aroma khas tanah basah bercampur wangi rempah yang menyengat, menandai bahwa musim panen lengkuas telah tiba.
Puluhan tetangga bergabung untuk membantu, mengolah tanah, dan memanen hasil. Sebagai tanda terima kasih, mereka akan menerima bagian dari hasil panen yang bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga atau dijual ke pasar.
Setiap musim panen, ladang lengkuas bapak saya mampu menghasilkan puluhan ton lengkuas berkualitas. Proses panen ini bukan hanya menjadi momen produktivitas, tetapi juga mencerminkan tradisi gotong royong yang kental di masyarakat pedesaan. Lengkuas (Alpinia galanga) adalah wujud nyata dari kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia, sekaligus jawaban untuk menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim.
Perubahan iklim membawa realitas baru yang penuh tantangan bagi para petani. Hujan deras datang tanpa jeda, mengguyur ladang-ladang hingga menyerupai genangan air yang luas. Sebaliknya, ketika kemarau datang, tanah merekah seperti retakan pada tembikar tua, menyisakan debu yang beterbangan di setiap langkah.
Salah satu dampak paling nyata dari pemanasan global adalah makin seringnya hujan ekstrem. Prof. Dr. techn. Marzuki, dosen fisika atmosfer di Universitas Andalas, mengungkapkan bahwa pemanasan global memicu peningkatan frekuensi, durasi, dan intensitas curah hujan di berbagai belahan dunia (Marzuki & Adha, 2023). Tentunya, fenomena ini tidak hanya menjadi tantangan besar bagi para petani, tetapi juga mengubah cara mereka bertahan hidup.
Bapak saya, bersama para petani lainnya, memilih untuk tidak menyerah. Ketika tanaman utama mulai sulit bertahan di tengah terpaan cuaca yang tidak menentu, mereka beralih menanam lengkuas. Selain tangguh, tanaman lengkuas juga memiliki nilai ekonomi yang stabil.
Sebagai rempah dan bahan obat tradisional, lengkuas terus diminati sehingga bisa menjadi alternatif yang ideal di saat ketidakpastian melanda ladang-ladang petani. Menanam lengkuas adalah langkah kecil untuk melestarikan tradisi, menjaga keberlanjutan, dan melawan perubahan iklim dengan kekayaan alam kita sendiri.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pada Pasal 1 ayat 4 menyatakan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan tanaman lokal, seperti lengkuas yang mampu bertahan di tengah tantangan perubahan iklim. Lebih dari sekadar rempah yang memperkaya cita rasa gulai, soto, dan rendang, lengkuas merupakan simbol keanekaragaman hayati Indonesia yang tidak ternilai.
Tidak hanya memperkaya rasa masakan, lengkuas juga memberikan manfaat kesehatan yang signifikan, seperti meredakan batuk, meningkatkan imunitas tubuh, dan menjaga kesehatan pencernaan. Di desa saya, masyarakat memanfaatkan seluruh bagian tanaman lengkuas secara maksimal. Akarnya menjadi bumbu utama dalam masakan, daunnya digunakan sebagai pembungkus makanan tradisional, sementara batangnya diolah menjadi pupuk alami untuk menyuburkan tanah.
Pemanfaatan tanaman lokal seperti lengkuas ini selaras dengan gagasan yang disampaikan oleh Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional (NFA), Andriko Noto Susanto. Dalam Sidang Tahunan Ekonomi Umat 2023, Andriko menegaskan pentingnya penganekaragaman pangan untuk memperkuat ketahanan pangan.
Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah dan bumbu. Karena itu, upaya pemanfaatan pangan lokal untuk penganekaragaman pangan harus terus dilakukan (Badan Pangan Nasional, 2023).
- Andriko Noto Susanto
Kekayaan ini menunjukkan bahwa tanaman seperti lengkuas merupakan simbol keanekaragaman hayati sekaligus menjadi salah satu solusi konkret untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Memanfaatkan tanaman lokal seperti lengkuas mampu menjaga keberlanjutan lingkungan sekaligus merajut hubungan harmonis antara tradisi, kesehatan, dan ketahanan pangan. Sebagai bagian dari kekayaan alam Indonesia, lengkuas menjadi bukti nyata bahwa solusi untuk tantangan global dapat ditemukan dalam akar budaya kita sendiri.
Indonesia merupakan rumah bagi sekitar 25.000 spesies tumbuhan yang mencakup lebih dari 10% flora dunia (Kuspriyanto, 2020). Salah satunya adalah lengkuas, rempah yang memiliki peran penting dalam ekosistem dan budaya lokal. Keberagaman hayati ini tak hanya menjadi kebanggaan nasional, tetapi juga penopang utama kehidupan masyarakat lokal.
Ketahanan lengkuas bergantung pada sifat tanaman itu sendiri dan pada upaya petani untuk mempertahankan produktivitasnya. Para petani, seperti bapak saya, telah mengembangkan cara-cara tradisional. Misalnya, dengan menggunakan pupuk organik dari sisa tanaman dan menerapkan sistem rotasi tanam untuk memperbaiki kualitas tanah. Praktik-praktik ini memungkinkan petani untuk mempertahankan hasil panen lengkuas meskipun cuaca tidak menentu.
Lengkuas dikenal tahan terhadap cuaca yang cukup ekstrem sehingga mampu bertahan meski di musim kemarau panjang dengan sedikit air. Hal ini berkat akar yang kuat sehingga dapat mencari nutrisi di tanah kering. Sementara itu, di musim hujan, lengkuas juga tetap tumbuh subur karena sistem perakarannya yang adaptif terhadap genangan air. Kemampuan lengkuas menjadikannya lebih dari sekadar rempah, melainkan juga sebagai penyeimbang ekosistem pertanian dan ketahanan pangan lokal.
Lengkuas juga memiliki peran lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan kuliner. Ketika tanaman pangan utama kesulitan tumbuh karena perubahan iklim, lengkuas tetap memberikan hasil yang konsisten. Karena itu, lengkuas bisa menjadi sumber pendapatan alternatif bagi petani sekaligus bahan baku kuliner.
Berdasarkan data BNPB per 1 Mei 2023, dari total 920 bencana yang terjadi, 359 atau 39,02% adalah bencana banjir. Bencana ini melanda 22 provinsi dengan total luas lahan terdampak mencapai 47.520,44 ha. Akibatnya, sekitar 57.053 petani mengalami kerugian sebesar 412 miliar rupiah akibat gagal panen (Kemendagri, 2023). Fenomena ini menjadi gambaran nyata betapa perubahan iklim telah mengubah pola cuaca yang berdampak langsung pada ketahanan pangan di Indonesia.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, kita perlu meningkatkan peran pangan lokal dalam memperkuat ketahanan pangan. Salah satu solusinya tentu dengan mengembangkan tanaman lokal yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Inovasi dalam budidaya dan pemanfaatan tanaman lokal dapat menjadi kunci jangka panjang dalam menghadapi krisis pangan yang kian mendesak. Dalam hal ini, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat penting untuk melestarikan serta mengoptimalkan potensi tanaman lokal yang ada.
Edukasi dan pemberdayaan petani juga memegang peran penting dalam memaksimalkan potensi pangan lokal. Dengan pengetahuan yang tepat tentang teknik budidaya yang berkelanjutan, para petani dapat lebih siap menghadapi tantangan alam dan memastikan keberlanjutan produksi pangan lokal yang berkualitas. Lengkuas dengan ketangguhannya dalam bertahan di cuaca yang tidak menentu, menjadi contoh nyata bagaimana tanaman lokal dapat berkontribusi pada ketahanan pangan Indonesia di masa depan.
Di tengah krisis ketahanan pangan global, praktik pertanian berbasis kearifan lokal sangat diperlukan. Mengutip data dari KEHATI, meskipun Indonesia mengalami peningkatan dalam ketahanan pangan sejak 2021, posisi ketahanan pangan Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara lain. KEHATI mendorong kita untuk kembali mengonsumsi beragam pangan lokal yang telah lama dilupakan. Hal ini untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan.
Lengkuas adalah salah satu kekayaan hayati Indonesia yang menyimpan potensi luar biasa. Tidak hanya sebagai bahan pangan lokal dan obat tradisional, lengkuas juga menjadi simbol solidaritas antar masyarakat yang saling bergantung pada alam. Namun, keberlanjutan tanaman ini, seperti halnya tanaman lokal lainnya, tidak hanya bergantung pada kekuatan alam, tetapi juga pada usaha para petani untuk merawat dan melestarikannya.
Melestarikan lengkuas berarti merawat tanah tempat lengkuas tumbuh. Petani di beberapa daerah telah mempraktikkan sistem pertanian ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik dari sisa tanaman lengkuas itu sendiri. Selain itu, sistem rotasi tanam yang menghindari penanaman tanaman yang sama secara berulang di lahan yang sama, memastikan keberlanjutan tanah dan produktivitas tanaman. Upaya-upaya ini memungkinkan lengkuas tumbuh subur, meskipun di tengah cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Lengkuas memiliki potensi untuk diolah dan diperkenalkan lebih luas sebagai alternatif pangan global. Tanaman ini dikenal tahan terhadap kemarau panjang maupun genangan air sehingga mampu menjadi solusi dalam menghadapi krisis pangan di berbagai belahan dunia. Dengan potensi ini, lengkuas bisa menjadi bagian dari solusi ketahanan pangan dunia, terutama di tengah tantangan perubahan iklim yang makin nyata.
Setiap panen lengkuas menyimpan harapan agar keanekaragaman hayati Indonesia terus berkembang dan memberikan manfaat, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga dunia. Melalui praktik pertanian berkelanjutan, lengkuas berperan dalam menjaga bumi dan memperkuat kehidupan yang bergantung padanya.
Sebagai simbol ketangguhan, lengkuas mengingatkan kita bahwa solusi terhadap perubahan iklim dapat dimulai dari langkah sederhana yang kita ambil, yaitu dengan melestarikan tanaman lokal yang memiliki banyak manfaat. Misalnya, masyarakat di desa saya telah membuktikan bahwa lengkuas yang ditanam secara berkelanjutan mampu bertahan meskipun di tengah kesulitan cuaca, sekaligus memberikan pendapatan alternatif yang stabil.
Sumber & Referensi: