Tidak harus mengayunkan langkah besar untuk peduli, peran aktif kita hari ini adalah seberkas harapan bagi bumi esok hari
- Ella Fitria
Saya masih ingat betul momen saat pertama kali berlibur ke kampung halaman suami di daerah Kendal. Kampung halaman suami ini tidak begitu jauh dengan pantai sehingga membuat saya penasaran untuk mengunjungi pantainya. Pilihan saya waktu itu adalah Pantai Sendang Sikucing, salah satu pantai yang katanya menjadi kebanggaan di Kendal.
Sepanjang perjalanan, saya sangat bersemangat, membayangkan betapa senangnya melihat keindahan alamnya. Menikmati hangatnya angin laut yang sepoi-sepoi ditemani alunan deburan ombak yang menenangkan. Rasanya, berlarian di hamparan pasir lembut yang luas menyenangkan sekali. Membayangkan hal tersebut membuat saya makin tidak sabar untuk segera tiba di pantai.
Sayangnya, semua imajinasi dan harapan itu runtuh seketika saat saya sampai di pantai. Apa yang saya bayangkan ternyata tidak sesuai dengan realita. Hanya ada hamparan pasir hitam yang bercampur warna-warni serpihan sampah yang berserakan. Banyak sampah plastik, sampah rumah tangga, hingga botol bekas. Seakan pantai ini baru saja terkena badai atau menjadi tempat pembuangan akhir.
Jujur saja, saat itu pergulatan batin saya rasanya tidak keruan. Pikiran saya sulit berpaling. Alih-alih bermain air dan berfoto ria, saya malah lebih banyak termenung, menatap sampah yang tergulung ombak. Pandangan saya juga sempat tertuju pada dua anak yang duduk diam di tepi pantai. Tatapan mereka kosong memandangi horizon, seakan mencerminkan masa depan mereka hanyut dan kian jauh tidak terlihat.
Saya berpikir, akankah suatu saat anak cucu kita tidak akan lagi mengenal pantai yang indah dan asri? Apakah mereka hanya akan mengingat pantai adalah tempat bertemunya berbagai sampah dari daratan dan lautan?
Selain pencemaran lingkungan berupa sampah, ada juga masalah lain yang tak kalah serius, yaitu polusi udara. Seperti yang terjadi di lingkungan rumah saya, sering kali polusi udara berupa asap pembakaran mengganggu aktivitas.
Setiap hari, mungkin bisa dibilang hampir 24 jam, asap putih tebal menyebar dari beberapa pabrik kayu ke pemukiman warga. Asap ini berasal dari sisa limbah kayu yang dibakar. Tidak adanya alternatif pengolahan limbah kayu dan pembakaran tanpa cerobong, membuat asap tebal mudah masuk ke pemukiman warga.
Udara pedesaan yang dulunya segar dan sejuk justru terasa sesak setiap saat. Lingkungan kami, lambat laun menjadi desa “berkabut abadi” karena asap yang tidak kunjung berhenti. Bahkan, anak-anak SD dan SMP dekat rumah juga turut terdampak. Mereka belajar dan beraktivitas ditemani asap, seolah polusi ini adalah hal wajar. Asap-asap dari pabrik ini tidak membuat mereka terganggu atau menutup hidung karena mungkin mereka sudah lelah menerima keadaan.
Kami pun terpaksa terbiasa dengan kepulan asap yang setiap hari masuk dari celah-celah ventilasi rumah. Memenuhi ruangan tamu, menempel di tirai jendela, hingga menyelimuti mimpi anak-anak kami ketika terlelap. Saat ini, mungkin mereka masih bisa tertawa, belajar, dan bermain. Namun, tanpa mereka sadari, ancaman masa depan mereka telah tertutup kabut polusi. Menjadikan mereka rentan terhadap berbagai penyakit pernapasan di kemudian hari.
Masalah lingkungan seperti polusi udara ini tidak bisa dianggap sepele dan banyak terjadi di beberapa daerah lainnya. Menurut laporan UNICEF, (2016) yang berjudul “Clear The Air for Children” menyatakan bahwa sekitar 300 juta anak di dunia tinggal di tempat yang memiliki tingkat polusi udara tinggi. Bahkan, dengan tingkat polusi enam kali lipat dari pedoman kualitas udara WHO. Paparan polusi udara ini berkontribusi pada beberapa penyakit dan mengakibatkan sekitar 600.000 anak di bawah 5 tahun meninggal dunia setiap tahun.
Anak-anak memang sangat rentan terhadap polusi udara karena mereka menghirup udara lebih banyak per kilogram berat badan dibandingkan orang dewasa. Hal ini karena anak-anak bernapas lebih cepat. Akibatnya, akan lebih banyak polutan yang masuk ke tubuh anak-anak. Padahal sistem pernapasan dan kekebalan tubuh mereka masih berkembang. Dengan begitu, dampak polusi udara akan lebih serius, bahkan mematikan.
Menyadari fakta masalah lingkungan ini, saya jadi berpikir dan merenung. Kita menghadapi kenyataan bahwa lingkungan yang kita tinggali makin terancam setiap harinya. Mulai dari polusi udara, pencemaran lingkungan oleh sampah, dan masalah lingkungan lain yang kian kompleks. Dari banyak masalah lingkungan itu, alam perlahan mulai kehilangan keseimbangannya.
Menjadi ibu, mulai menyadarkan saya bahwa harus ada yang mulai bertindak. Bukan untuk kenyamanan atau kepentingan diri sendiri, tetapi untuk masa depan anak cucu kita. Hal ini supaya mereka memiliki masa depan cerah tanpa bayang-bayang masalah lingkungan yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab mereka.
Karena itu, saya mengambil langkah sederhana untuk memulainya. Meskipun bukan langkah besar, tetapi saya percaya jika langkah ini memiliki nilai penting yang perlu ditanamkan di keluarga kami. Harapannya, langkah ini akan menumbuhkan benih perubahan mulai dari lingkungan keluarga hingga masyarakat luas. Berikut ini beberapa langkah kecil yang saya lakukan untuk mewujudkannya.
Sampah bisa datang dari mana saja, tidak terkecuali dari dapur dan sisa makanan yang kita konsumsi setiap hari. Bahkan, sampah makanan menyumbang hampir setengah dari total timbunan sampah. Menurut data tahun 2023 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dikutip dari laman RRI, sampah makanan menyumbang setidaknya 41,4% dari total sampah nasional. Angka ini terbilang cukup besar mengingat sampah plastik hanya menyumbang sebesar 18,6% saja.
Besarnya persentase sampah makanan ini mengindikasikan adanya masalah dalam kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan makanan yang baik. Untuk turut andil dalam mengurangi kontribusi sampah makanan ini, saya membiasakan diri berbelanja bahan makanan sesuai kebutuhan serta menerapkan food preparation.
Sebelum belanja bahan makanan, kami selalu berdiskusi membuat planning menu makanan untuk seminggu. Jadi, ketika waktu berbelanja, kami hanya membeli bahan makanan yang sudah ditentukan. Dengan begitu, kami dapat mengurangi sampah dari bahan yang mungkin saja tidak terpakai dan membusuk.
Selain itu, saya juga telah terbiasa melakukan food preparation sejak masih lajang hingga kini menjadi ibu dari dua balita. Bagi saya, food preparation bukan hanya untuk memangkas waktu persiapan memasak. Namun, supaya bahan masakan tidak cepat busuk dan terbuang begitu saja. Dengan cara sederhana ini, saya bisa lebih memaksimalkan sumber daya alam yang diperoleh tanpa menyia-nyiakannya. Langkah kecil ini menanamkan nilai bahwa sebenarnya kita bisa “ambil secukupnya, manfaatkan sebaiknya”. Karena dari dapur, kita bisa mewujudkan keberlanjutan dengan rasa syukur.
Meski halaman rumah kami tak seberapa luas, kami percaya bahwa mencintai tanaman bisa diajarkan sejak dini. Menanam tanaman bukan hanya soal menghijaukan ruang sempit. Melainkan tentang memberi ruang bagi anak-anak untuk belajar menyayangi kehidupan. Setiap pagi mereka menyiram, mengamati daun yang bertambah, dan bertanya dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Kami juga memupuk rasa cinta dan rasa penasaran anak dengan hal baru. Seperti mengintegrasikan teknologi untuk memudahkan dalam memantau tanaman secara otomatis. Dengan pendekatan seperti ini, kami sebagai orang tua memupuk pemahaman bahwa meski zaman mulai modern, kita masih bisa berkontribusi dengan cara yang “smart” dan kreatif.
Dari aktivitas sederhana ini, mereka mengenal bahwa udara segar dan lingkungan yang sehat tumbuh dari hal-hal kecil yang kita rawat dengan cinta. Salah satu tanaman yang saya miliki adalah anggur. Meskipun belum pernah berbuah, melihat sulurnya merambat pelan di teras rumah selalu menghadirkan rasa bahagia. Seolah-olah ada harapan yang tumbuh dari setiap helai daunnya.
Jujur, saya sedang belajar membiasakan diri menggunakan barang sampai benar-benar habis atau rusak, mulai dari pakaian, alat rumah tangga, hingga make up dan skincare. Bukan hanya soal berhemat, melainkan sebagai bentuk komitmen saya untuk hidup lebih sadar dan bertanggung jawab. Rasanya, setiap kali saya berhasil menahan diri untuk tidak membeli barang baru yang sebenarnya bukan kebutuhan, seolah memberi bumi kesempatan untuk bernapas lebih lega.
Prinsip saya sederhana: makin sedikit konsumsi, makin kecil jejak sampah yang saya tinggalkan. Selain itu, saya juga biasa menyulap barang-barang yang telah rusak menjadi barang lain. Seperti celana jeans rusak menjadi tas yang serbaguna dan fashionable. Dengan langkah mudah seperti ini, saya bisa turut berkontribusi memperlambat penumpukan sampah di TPA.
Peran menjaga lingkungan tidak hanya tugas individu, tetapi juga kolaborasi antar sesama, lembaga, dan masyarakat. Setelah beberapa kali merekam asap pekat dari pabrik dekat rumah, saya memberanikan diri melapor ke Dinas Lingkungan Hidup Purbalingga. Meski bukan aktivis, saya percaya warga biasa pun punya suara. Saya akui, respons Dinas Lingkungan Hidup tergolong cepat. Sayangnya, saat ditindaklanjuti, pabrik tersebut ternyata belum memiliki izin resmi. Alhasil, Dinas Lingkungan Hidup hanya bisa memberi saran terkait pengelolaan limbahnya.
Nah, sampai saat ini aktivitas pembakaran tetap berlangsung. Kepala desa setempat tercatat sudah tiga kali datang ke rumah saya supaya saya legowo “membiarkan” aktivitas pabrik. Padahal, pembakaran tanpa cerobong mencemari udara dan melanggar aturan. Hingga kini, saya masih bertanya, ke mana lagi harus melapor agar kami bisa menghirup udara segar lagi?
Terlepas dari itu, saya berterima kasih kepada kepala desa dan Dinas Lingkungan Hidup Purbalingga yang sudah peduli dengan saya sekaligus lingkungan tempat saya tinggal.
Melihat berbagai kondisi lingkungan ini membuat saya makin sadar bahwa kita semua memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan. Hanya saja, terkadang masih banyak orang yang belum memiliki kesadaran penuh akan peran dan pengaruh mereka. Jika dilakukan bersama, kita tidak perlu repot mencari solusi dalam permasalahan lingkungan, karena sebenarnya kita bisa melakukan tindakan preventif dengan beberapa langkah kecil di atas.
Langkah kecil mencintai bumi yang saya lakukan mungkin hanya bisa menginspirasi teman-teman dalam lingkup kecil saja. Karena itu, perlu adanya gerakan serentak yang dilakukan agar kita bisa bersama-sama membawa perubahan yang signifikan. Seperti Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) melalui berbagai program lingkungan menjadi contoh penerapan untuk menjaga keberlanjutan dengan lingkup yang lebih luas. Secara masif mahasiswa mengajak masyarakat untuk andil mencintai lingkungan dengan berbagai program yang dijalankan, misalnya:
Mahasiswa KKN Vokasi UNY memiliki program pelatihan pembuatan eco enzyme di Bojong 4 Panjatan, Kulonprogo. Eco enzyme ini bermanfaat sebagai cairan pembersih alami, pewangi, hingga pupuk. Pelatihan ini terinspirasi karena limbah rumah tangga di sana hanya dibuang dan dibakar sehingga menimbulkan masalah baru. Harapannya, adanya pelatihan dari KKN UNY ini, dapat menjadi solusi berkelanjutan.
Selain pelatihan eco enzyme, mahasiswa KKN K008 UNY 2019 juga menyelenggarakan program Literasi Lingkungan di SD Ngablak Sitimulyo, Piyungan, Bantul. Selain memberikan penyuluhan tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya, Literasi Lingkungan juga menjadi tombak untuk mengajak siswa mengelola sampah dengan bijak. Harapannya, kegiatan ini bisa mengubah pola pikir mereka sejak dini bagaimana cara mengelola sampah.
Program ecobrick merupakan salah satu alternatif pengelolaan sampah plastik. Nah, sampah plastik ini dimasukkan ke dalam botol dengan padat hingga menjadi ecobrick yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan, meja, kursi dan lainnya. Karya dari ecobrick ini berhasil meraih pendanaan dari Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang PKM-PM tahun 2023. Keren sekali, bukan?
Menurut saya, program keberlanjutan dari UNY ini memberikan inspirasi bahwa perubahan tidak harus dimulai dari sesuatu yang besar, asalkan dilakukan bersama-sama secara serentak. Dengan berbagai program tersebut, UNY telah menjalankan tridharma dengan konsisten, salah satunya di bidang pengabdian kepada masyarakat. Kita pun bisa mengambil peran dalam menjaga bumi, dimulai dari diri sendiri, rumah, dan lingkungan terdekat. Karena setiap langkah kecil yang kita lakukan hari ini, akan membawa dampak besar untuk esok dan masa depan.
Selamat hari jadi UNY ke-61. Terima kasih sudah menginspirasi dengan program nyata untuk masa depan yang lebih baik. Semoga, esok lusa, makin banyak masyarakat yang peduli dengan lingkungan dan menjadi agen perubahan untuk hidup yang berkelanjutan. Mari manfaatkan teknologi digital, media sosial, dan semangat gotong royong untuk menyebarkan keberlanjutan di keseharian.
Sumber & Referensi:
Infografis oleh Ella Fitria dari sumber gratis Freepik
Animasi oleh Ella Fitria dari sumber gratis Freepik