Gambar diambil dari Pixabay.com |
Muratal al-qur’an sudah terdengar dari kejauhan sebelum aku tiba di halaman madrasah. Seperti biasa ketika aku sedang memarkirkan sepeda motor, anak-anak berlarian mengerubutiku untuk bersalaman. Ya, hari pertama masuk madrasah setelah libur dua minggu. Kebanyakan peserta didik diantar oleh orang tuanya. Akhir-akhir ini aku sering mengamati salah satu murid kelas satu, dia selalu diantar oleh pria paru baya mungkin ayahnya. Setiap pagi dia turun dari sepeda motor lalu mengulurkan tangan berpamitan sambil mencium tangan ayahnya. Setelah berjalan tiga sampai lima langkah dia selalu kembali menoleh ke arah ayahnya dengan senyum mengembang dan melambaikan tangan (dadah-dadah) sambil jingkrak-jingkrak. Selalu, setiap pagi seperti itu. Kaya di film Miracle in Cell No. 7 yang punya ritual sama-sama balik badan meski sudah berpamitan. hhh
Keceriaan pertama kali masuk madrasah nggak berhenti pagi itu. Kebetulan teman belajarku adalah anak-anak kelas empat. Memasuki semester dua, materi yang akan kami pelajari tentang cita-cita. Aku tersenyum, seperti baru kemarin aku ditanya tentang cita-cita oleh guru SD ku. Lah hari ini, aku sendiri yang akan bertanya pada muridku, oh Gusti. Boleh jadi aku memiliki jam tetapi tetap Engkau yang memiliki waktu. Buktinya, rasane cepet banget ya.. Padahal tembe SD wingi *apasih, haha
Dalam hati lagi aku bertanya, apakah mereka akan menjawab cita-cita mereka sama seperti jawaban cita-citaku dan teman-temanku semasa SD dulu? Ah, makin penasaran untuk segera menanyakan kepada mereka.
Satu persatu mereka maju untuk menyampaikan cita-cita, nggak cuma bercerita tentang cita-cita sih tapi mereka juga menyampaikan kegiatan utama dan keahlian yang harus dimiliki sehubungan dengan cita-cita mereka. Ternyata cita-cita anak zaman sekarang nggak jauh beda dengan cita-cita anak zaman 90n. Ada yang bercita-cita menjadi dokter, dokter hewan, guru, polisi, polwan, tentara, arsitek, presiden, pilot, pembalap motor drag, pembalap mobil F1, pelawak, dan astronot.
Tiba saatnya si A maju untuk menyampaikan cita-citanya kepada teman sekelas.
Dengan suara lantang si A berkata “aku ingin jadi astronot, biar bisa keliling angkasa bu”
Lalu aku melontarkan tanya padanya :
Aku : Kegiatan utama Astronot apa ya Mas?
Si A : Astronot itu kegaiatannya menjalankan misi bu.
Aku : Waaaah, misi apa Mas?
Si A : Misi rahasia bu. Kan kalau rahasia nggak boleh dikasih tahu ke orang lain. Pokoknya aku mau jadi astronot terus menjalankan misi rahasia gitu bu.
Aku : nggggggggg~~~~
Mungkin nggak cuma aku yang menjawab ngasal ketika dulu ditanya cita-cita. Dulu cita-cita pertamaku menjadi seorang polwan, sampai pada saat karnaval hari kemerdekaan aku memakai kostum polwan lengkap dengan atributnya. Gede sedikit kalau nggak salah kelas enam SD cita-citaku berubah menjadi seorang dokter. Hingga menginjak jenjang SMK cita-citaku berubah lagi, aku ingin menjadi seorang akuntan publik. Hahaha, ya gimana nggak berubah dong, cita-cita dokter masuknya SMK ambil jurusan Akuntansi. Hhh
Menurutku mempunyai cita-cita itu sebuah keharusan. Meski cita-cita sering kali berubah mengikuti kematangan pikiran. Nggak heran sih, kalau anak seumuran SD selalu memiliki cita-cita sebagai dokter, tentara, polisi, polwan, guru, dll. Ya karena yang sering mereka jumpai profesi itu, yang dianggap mereka (profesi) keren ya dijadikan cita-cita mereka. Kebanyakan mereka hanya berfikir ingin menjadi seperti apa yang mereka lihat. Belum memikirkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Tapi nggak apa-apa, seenggaknya mempunyai cita-cita membuat hidup lebih bergairah, hidup makin terarah, nggak bingung untuk melangkah.
Cita-cita tu sama aja kaya sebuah harapan. Setuju nggak sih? Harus setuju lah. *maksa banget 😀
Lalu apa kabar cita-cita kalian? Sudahkah tercapai hari ini?