gambar diambil dari pixabay.com |
Kali ini aku tidak perlu menyiapkan bias api untuk sekedar kau padamkan
Tepat hari ini jatah pentasmu berkurang
Dengan rasa yang satu aku panjatkan do’a terbaikku
Do’a-do’a yang tidak bisa aku ungkapkan dengan bahasa manusia
Syukur alhamdulillah Dzat yang tunggal masih memberimu waktu untuk tetap memperbaiki apapun yang seharusnya kau perbaiki
Jika waktu cukup, maka lakukanlah
Suatu saat, aku ingin mengajakmu menjadi anak-anak, lalu mengajakmu menjadi tua renta
Aku ingin mengajakmu menemui orang-orang yang merasa dekat sekali dengan makam
Lalu menuju tempat di mana orang-orang susah payah mengingat bagaimana caranya mereka tersenyum di sana
Aku ingin mengajakmu membayangkan bagaimana kelak jika kau dan aku tua
Membayangkan bagaimana rasanya berjalan-jalan di tepi jurang maut
Sampai akhirnya kau dan aku meyadari bahwa hidup tidak lebih dari sebuah paradoks
Semoga kau tidak terlalu sibuk mengejar diri sendiri
Tidak melewatkan janji kehidupan yang mestinya kau tepati
rasa bahasa universal yang lazim dipakai kaum wanita,
tetapi jika konteksnya soal tapa laku maka rasa adalah miliki kita bersama,
nice post, salam kenal
Ada yg komen ini jd keinget.. Dulu waktu nulis ini lg manis2nya, lagi mencoba bertahan dg janji ketidak pastiannya. Dududu lha kok curhat kan. Wkwkwk
Ada rindu yang luas dalam merangkum waktu: keinginan memiliki secara utuh, dari masa kanak kanak hingga menjadi renta.
Jangan terlalu diturut rasa, seimbangkan dengan logika