Menuju rumah Oo melewati kebun tak berpenghuni |
Baru juga masuk sekolah satu hari eh udah libur lagi. Hari ini sebenarnya nggak ada agenda pergi kemana-kemana kecuali nemenin Ibu ke pasar. Sepulang dari pasar, tiba-tiba temanku ngajak main ke rumah teman. Hih susah banget bahasannya ya. Hahaha
Adalah Pungkas dan Oo yang setiap kali aku masuk rumah sakit mereka selalu menginap di rumah sakit. Bahkan tahun lalu waktu aku kecelakaan, Pungkas yang baru pulang dari Surabaya malam itu juga nyusulin aku di rumah sakit bareng Oo. Mereka rela tidur di lorong rumah sakit. Buatku mereka adalah keluarga, saudara, meski beda bapak ibu. Duh, kenapa jadi melow gini 🙁
Ba’da dzuhur aku dijemput Pungkas, meski mendung menggelayut menghiasi langit Punggelan tapi tak menyurutkan niat kami untuk tetap membelah jalanan menuju rumah Oo. Aku bersiap membonceng motor berwarna hijau muda yang ada di depanku, meski di badan motor terlihat ada sedikit goresan namun motor ini tetap terlihat karismatik. Dengan lampu bulat dan perseneling di tangan kiri membuat motor ini semakin antik, mungkin umurnya sudah puluhan tahun. Kalian bisa menebak jenis motor apa yang akan mengantarku menuju rumah temanku? Ya! Motor Vespa kesayangan teman terbaikku.
Rintik gerimis mulai membasahi jalanan desa Timbang, alhamdulillah nggak lama lagi kami akan sampai di rumah Oo. Sepanjang jalan suara knalpot vespa menjadi backsound obrolan kami “pret tetete” dan tiba-tiba “glegek glegek” ditengah tanjakan. Duuuh ya pasti kalau naik vespa ini selalu mogok deh. Aku mulai ngomel ke Pungkas, tapi dia tuh selalu selow banget hidupnya. Dengan santainya dia bilang sambil nyengir.
Pungkas : “turun la, bensinnya habis. Hahaha”
Aku : “hih, kamu tu kebiasaan banget kalau pergi sama aku nggak pernah ngisi bensin dulu. Heran deh, kaya nggak punya duit aja”
Pungkas : “santai bro santai (sambil dia membuka tepong vespa, lalu mengambil botol berisi pertamax). Aja nesu-nesu disit, wong li sing aso. Sebenarnya aku tu sengaja kalau pakai motor vespa nggak ngisi bensin sebelum bensinya habis di tengah jalan. Hahahaha
Aku : “halah njeleih kok, kurang kerjaan banget”
Pungkas : “ssst, kamu nggak nanya alesanku nggak mau ngisi bensin sebelum bensin habis di tengah jalan? Tak jawab sekalian deh intinya sih biar hidup makin berwarna aja, ckckck”
Aku : “ngana kira jalan kaki gegara bensin habis itu bikin hidup berwarna? Gerimis pula” aku masih aja ngomel nggak terima.
Tapi setelah dipikir-pikir, ada benarnya juga ya. Ya gimana, Pungkas hidup di Surabaya, sedangkan motor Vespa kesayangan ditinggal di rumah, terlebih main sama kami juga jarang. Ya mungkin benar salah satu cara menciptakan best moment dengan cara kaya gitu, ngerasain kehabisan bensin di tengah jalan. Hhh
Untung aja aku nggak jadi jalan kaki gerimisan, dia masih punya stok pertamax yang disimpan di tepong motor menggunakan botol. Hahaha
Sampai di rumah Oo, tanpa ba bi bu kami langsung saling bercerita masa SMK. Mereka kebetulan satu sekolah denganku, tapi beda jurusan. Kerjaan paling utama kalau kami sudah bertemu adalah ngomentarin orang. Hahaha. Ya gimana sih, banyak banget teman-temanku yang suka curhat di medsos, jadi tanpa kami mendengar langsung cerita mereka, kami sudah tahu masalah-masalah yang mereka hadapi. Kalau menurutku sih curhat di medsos boleh, boleh banget. Tapi harus bisa menyaring mana yang layak dikonsumsi publik mana yang hanya dikonsumsi diri sendiri. *sok bijak banget bilang begitu, ngaca dong la ngaca. Hahaha
Biasa kan kalau orang habis ngegosip tu lapar ya, kami mlipir ke warung pecel Pak Kisno di desa Timbang. Aku nggak terlalu suka sayur, jadi cuma pesan potongan ketupat sama mendoan disiram bumbu kacang. Sementara Pungkas dan Oo pesan pecel komplit dengan sayur dan mendoannya.
Pecel Sayur Pak Kisno |
Harga pecel Rp. 5 ribu/porsi, mendoannya Rp. 2 ribu/3 mendoan.
Setelah kenyang kami kembali menuju rumah Oo, masih berlanjut ngobrol ini itu yang nggak bakal ada selesainya. Pungkas dengan karir suksesnya di Surabaya, Oo dengan program diet ketatnya, dan aku dengan kepolosnnya. Hahaha
Aku salut banget sama mereka, dulu zaman SMK mereka anak-anak yang nakalnya nggak ketulungan, kalau kata orang sih nggak punya masa depan. Tapi nyatanya, mereka bisa sukses dengan bisnis mereka. *sungkem para bosku*😂
Ah ya, setelah maghrib kami memutuskan pamit pulang. Agak ngeri sih karena jalan yang akan kami lewati adalah kawasan kebun yang nggak ada penghuninya, lampu Vespa yang nggak begitu terang sedikit menggoyahkan niat kami pulang lewat jalan itu. Tapi kalau mau lewat jalan yang ramai, kami harus menempuh perjalanan yang lebih jauh dua kali lipat.
Akhirnya kamipun mampu melewati perkebunan yang beneran nggak ada kehidupan, sepanjang jalan aku kaya senam jantung. Sama sekali nggak papasan dengan orang lain, gelap, dan berkabut. Agak parno dengan imajinasi sendiri sih. Tapi alhamdulillah sampai rumah dengan selamat. 🙂