![]() |
Embun Senja |
Katanya, embun tak melulu soal pagi. Katanya, ada embun senja yang menentramkan. Katanya, ada yang sedang berjuang sendirian. Katanya, ada yang sedang bimbang memilih keputusan. Katanya ada yang merasa tersakiti. Katanya ada yang lancang berani merusak embun pagi. Katanya ada yang menuhankan rasa perihal hati. Katanya ada yang ingin sendiri. Katanya. Katanya. Katanya.
Kata-katanya menari-nari di otakku. Memenuhi sudut-sudut tersempit, memekakan setiap kali tubuh kuistirahatkan. Seolah kata-katanya akan meledak dalam hitungan detik, menghamburkan kenangan yang tak mungkin terlupakan. Musim hujan, senja tak akan datang. Langit kemerahannya sering menghilang. Ah ya, tak apa. Setidaknya ada embun pagi setiap hari. Ada gerimis hujan yang mampu menutupi.
Perihal sesal yang terlanjur mendalam, perihal kesalahan yang terlanjur menjadi bumerang. Meskipun keliru, tak seharusnya menghakimi qalbu. Aku memilih pergi menuju diri sendiri, memilih berdamai dengan diri sendiri, memilih berteman dengan konsekuensi. Setidaknya untuk berterimakasih kepada diri.
Pada tangismu, pada sakitmu, serta pada kecewamu. Aku memohon maaf. Berharap Tuhan memaafkan, pun semoga ini menjadi pembelajar untuk kami. Apa arti sebuah permintaan maaf jika tak ada sesuatu yang diperbaiki? Untuk itu, kamu tidak perlu khawatir, semua skenario sudah selesai tertulis rapih di Lauhul Mahfudz jauh sebelum kita terlahir bukan?
Dan, bagaimana mungkin merasa memiliki “orang lain”? Sedangkan diri kita sendiri saja bukan milik kita? Bagaimana mungkin menuntut “hak” kepada orang lain? Sedangkan kita menuntut diri sendiri saja tidak kuasa. Ah ya, kadang hidup hanya soal paradoks.
Aku punya banyak cerita yang ingin kubagi bersamamu. Di luar sana, hujan tak bisa dikendalikan, sesekali mataku memperhatikan kaca jendela mobil, satu dua butiran air menetes tanpa protes, digantikan butiran air yang lainnya. Menetes lagi, digantikan lagi, begitu seterusnya.
![]() |
Embun Senja |
Pandanganku kembali menatap layar laptop yang kuletakan di pangkuan, perlahan aku kembali membuka surel, membaca ulang dengan lebih teliti. Jemariku mulai menekan keyboard, menyusun huruf menjadi sebuah kata, sebuah kalimat yang bisa kamu baca. Kuarahkan kursor ke arah “send” lalu kuklik, berharap kalimatku tidak menyakiti siapapun. Semoga!
Aku kembali melanjutkan tulisan yang sedang kamu baca ini, masih dengan suasana yang sama. Macet, hujan, dan lelah. Di luar sana orang-orang terlihat sibuk berlarian menghindari air hujan, ada yang sibuk mengenakan jas hujan dan ada pula yang sibuk membuka payung dari genggamanya.
“dan semoga kerinduan ini, bukan jadi mimpi di atas mimpi” (potongan lirik Elegie Esok Pagi-Ebiet G Ade)
Kusentuh tombol volume DVD Player di dashboard mobil, kunaikkan volumenya supaya tak kalah dengan suara hujan di luar sana. Entah sudah berapa ratus kali lagu ini kuputar. Tapi selalu saja enak didengar, atau karena kita sering mendengarkan bersama? Entahlah..
Izinkan aku untuk terlelap sejenak, mengisi kembali jurnal mimpimu, menjemput yang semestinya kujemput. Meski begitu, do’aku satu, selalu mengudara dengan do’a yang sama untuk kalian. Semoga semesta selalu mendukung. Aamiin
Pada satu tempat kami berawal. Sebelum berani melanjutkan, aku sudah membatalkan. Thank you for just being here without asking too much. Aku percaya dan yakin sepenuhnya dengan Janji Tuhan. At the end, both of you and him will be what happened in my past *big hug*
Akyu bacanya pelaaaan banget. Satu paragraf, baca ulang, dst … Tidak tahu ini fiksi atau non-fiksi tapi penyajiannya indah dan bikin mewek.
tambah syahdu bacanya, sambil nyruput kopi pelan2
Bahasanya puitis amat mbak. Saya yang klowor gini merasa harus membacanya pelan-pelan.
Hahaha
Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya yakinlah
Dalam banget tulisannya, Ella. Tapi suka membacanya karena diksinya indah 🙂
Ella lagi melankolis mode on ini yaaa X)
Hehehe, aku nulisnya sambil mewek2 nahan ngilu di dada. Wkwk
Peluk jauh mbak Tuteh
Kloworrrr… Wkwkwkwk
Pelan2 mas, banyak tikungan
Makasih Uni Evi… Nuwun…
Banget mbak Mayang, melowwww tingkat dewaa
Hehehe.. Sekali2 ketularan mas Idris, wkwk