Tulisan pertama di tahun 2019. Tulisan pertama juga di 24 tahun aku menghabiskan hidup. Pun tulisan pertama yang lahir setelah sibuk dengan perasaan baru, hati baru, dan kebahagiaan baru. Kedip kursor seolah menungguku untuk melanjutkan huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf yang bisa kamu baca. Siapa saja kamu yang nggak sengaja mampir ke sini, atau kamu yang rutin pulang, atau justru kamu yang sekedar stalking. Yah mulai kepedean tingkat akut. *padahal niat mau nulis blogpost yang serius dikit tapi nggak bisa, gimana dong?
Hari ini tepat dua tahun lalu, kamu datang, tinggal, hingga akhirnya menghilang. Menyisakan janji kehidupan yang sudah tertinggal, entah bisa dikejar atau hanya akan berakhir menjadi kenangan. Setidaknya, terima kasih sudah berkabar melalui noted. Terima kasih sudah mendo’akan dengan segenap rasa. Karenamu, aku bisa belajar perihal merelakan.
Tepat hari ini pula, ada seseorang yang berusaha meyakinkan perihal kehidupanku. Semoga niat baiknya dilancarkan Tuhan, do’akan ya supaya masa lalunya segera terselesaikan. Untuknya, terima kasih sudah membantu menghapus mimpi yang pernah aku dan kamu rencanakan. Perlahan tapi pasti, semoga tidak keliru, pun tidak tertukar. Tugasku hanya meyakini sepenuhnya dengan janjiNya, dengan ketentuanNya, dan dengan rencanaNya.
Semoga lagi, hanya ada satu hati yang dituju, hanya satu semesta tempat berpusat. Karena rasa memang nggak bisa dipaksa, entah bagaimanapun caranya. Rasapun nggak bisa datang secara tiba-tiba, apalagi hilang dengan sendirinya.
Udah bahas cinta-cintaannya, ya. Takut kalian mual 😭
Btw, kalian pernah dido’akan seseorang biar kalian cepat “mati” nggak? Iya mati, meninggal. *pengin ketawa tapi takut mati. Hahahaha, yah keceplosan ketawa. Duh! Mati nggak nih, ya? 😂
Padahal di luar sana, banyak banget orang yang sedang berjuang untuk bertahan hidup, entah bertahan karena sedang melawan penyakitnya, melawan depresi, melawan sakit hati, atau melawan diri sendiri. Tapi justru banyak orang yang gampang mempermainkan do’a. Ngeri nggak sih kalau do’a jelek justru balik ke kita? Ke keluarga kita? Ke orang yang kita sayang? Sebenci-bencinya kita ke makhluk Tuhan, semoga senantiasa do’a baik yang selalu keluar dari mulut kita, ya!
Eh, tadi ngomongin melawan diri sendiri, jadi pengin bertanya (ke diri sendiri). Sudah berapa lama nggak pulang ke diri sendiri, ya? Sudah berapa lama nggak menengok diri sendiri, ya? Sudah berapa lama nggak berterima kasih kepada diri sendiri, ya? Sudah berapa lama nggak meminta maaf kepada diri sendiri, ya?
Ah iya! Cara tiap orang untuk pulang, untuk menengok, untuk berterima kasih dan untuk meminta maaf kepada dirinya sendiri memang berbeda-beda. Ada yang cukup duduk manis liat sunset sambil nglekor, ada yang cukup menyendiri membaca buku di tempat yang sunyi, ada yang sengaja membiarkan tubuhnya diguyur hujan, bahkan ada yang harus rela menempuh perjalanan jauh sendirian, ada pula yang harus menginjakan kaki di pasir pantai sambil mendengarkan gemuruh ombak, atau ada yang cukup menyendiri merasakan bahwa hidup nggak melulu soal pekerjaan, soal karir, soal jodoh, soal perasaan, soal kesehatan, soal mengejar, soal memiliki, soal kehilangan, soal tersakti, dan soal bahagia. Bukan hanya itu, tapi hidup lebih ke soal bagaimana kita bisa bermanfaat untuk orang lain.
Terlepas dari itu semua, semoga kita mampu selalu jujur dengan diri sendiri, selalu bisa memeluk erat diri sendiri bagaimanapun kondisinya. Bagiku, semakin sering pulang menengok diri sendiri maka semakin waras dalam menjalankan hidup ini.😍