Sudah jauh hari aku menyiapkan hati untuk datang ke eventDieng Culture Festival 2019. Eh nggak cuman hati ding, kesehatan juga nggak kalah pentingnya. Meski sedang mengkonsumsi obat, alhamdulillah bisa menikmati event tahunan ini. Hari jumat sepulang kerja, kami berempat menuju dataran Tinggi Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Sekitar dua setengah jam, kami menakhlukkan jalanan menanjak dan berelok. Pemandangan tebing-tebing tinggi berganti dengan hamparan tanaman sayur di kanan kiri, itu tandanya kami sudah berada di dataran tinggi Dieng. Udara yang menusuk sudah aku antisipasi dengan menggenakan kaus kaki dobel, kaus tangan dobel, celana panjang dobel, dan kaus tripel. Nggak lupa juga mempersiapkan syal dan topi rajut untuk bersiap menjemput kerinduan di Jazz Atas Awan.
Dieng Culture Festival ke X digelar pada tanggal 2-4 Agustus 2019, dengan mengusung tema The Inspiration Of Culture. Berbekal pengalaman tahun lalu, kali ini aku lebih mempersiapkan diri. Mulai dari pakaian dan barang bawaan yang harus selalu kubawa. Kalau tahun lalu membawa selimut pas nonton Jazz Atas Awan, tahun ini nggak dong. Ya kalian bisa membayangkan ribetnya ngeter-eter selimut di tengah lautan manusia. Memang menghangatkan badan tapi bikin kurang menikmati musik Jazz karena sibuk benerin selimut, tarik sini tarik sana supaya nggak kotor terkena debu. Ya mana bisa nggak terkena debu sih, nonton Jazz Atas Awan kan lesehan, kudu siap berdebu dan berkotor-kotor. Makanya tahun ini belajar dari pengalaman, lebih siap dengan mendobel bahkan mentripel pakaian, asal masih tetap nyaman dikenakan. *macam pundakmu nyaman buat senderan. Ehem…
Jazz Atas Awan Menjemput Kerinduan
Malam pertama, pukul 20.00 WIB kami bergegas dari homestay menuju lapangan Pandawa. Dari kejauhan sudah terdengar lagu yang nggak begitu asing. Kami mempercepat langkah kaki, mengantre di gate masuk sembari menggerakkan kaki mengikuti alunan musik menahan hawa dingin. Btw, untuk menyaksikan Jazz Atas Awan maupun rangkaian Dieng Culture Festival kalian wajib memiliki tiket, yas
Setelah pemeriksaan ID Card (tiket), pandanganku mulai menjelajah ke berbagai arah, mencari tempat yang masih kosong supaya bisa duduk ditempat strategis untuk menikmati Jazz Atas Awan. Kami sempat berpindah tempat tiga kali, setelah merasa nyaman duduk di tengah barisan depan, barulah duduk diam. Eh memang nyari kenyamanan susah, ya. Nah lho!
Bang Is Pusakata
Kalian bisa membayangkan nyanyi bareng di suhu 6 derajat nggak? Bukan nyanyi balonku ada lima, atau bebek adus kali tapi nyanyi lagu-lagunya Bang Is ex Payung Teduh yang bikin hati makin teduh. Ada lagu Menuju Senja, Aku Kau dan Malam, trus yang bikin pecah saat Bang Is membawakan lagu Untuk Perempuan Yang Sedang Di Pelukan.
Ya salammmm!!! Mampus kau sobat bucin, makin bucinlah sudah. Selain Bang Is, ada Gugun Blues juga yang ngajakin ngblues. Tapi aku cuma tahu satu dua lagunya doi. Wkwkwk
Senandung Negeri Di Atas Awan Memanen Kerinduan
Malam kedua, Senandung Negeri Di Atas Awan Menanen Kerinduan nggak kalah syahdunya dengan malam pertama. Kerumunan manusia lebih padat daripada malam pertama, banyak banget pengunjung yang nggak punya tiket, mereka cuma bisa menyaksikan dari luar pagar pembatas.
Jam 18.30 WIB kami sudah stay di gate masuk, berharap mendapat tempat duduk yang strategis. Dan yap! Persis di barisan ke 4 dan di tengah. Perfect!!! Tapi sayangnya makin malam, mas-mas depanku ngrokok nggak ada berhentinya, tiga orang saling kebut-kebutan buang asap. Sumpah udah pengin banget pindah tempat duduk, tapi ngeliat sekeliling udah penuh sesak nggak memungkinkan untuk berpindah. Seandainya banyak perokok yang peduli dengan sekeliling, ku yakin bakal lebih nyaman lagi menikmati Senandung Negeri Di Atas Awan.
Pas Senandung Negeri Di Atas Awan, aku lebih menikmati saat grup band Lemonade dan Amorisa membawakan lagu-lagu syahdu. Macam lagu Kangen dan Puisi.
Amorisa
Memang ada Djaduk dan Kuaetnika yang membawakan lagu-lagu daerah, sumpah kereeeen banget aransemen lagunya. Tapi menurutku Senandung Negeri Di Atas Awan lebih syahdu kalau diisi dengan lagu-lagu yang melow daripada lagu daerah. Bukan aku nggak suka lagu daerah, ya. Bangga banget malah. Cuma menurutku ketika lagu daerah dinyanyikan saat Senandung Negeri Di Atas Awan kurang ngena aja. Kita diajakin nyanyi lagu daerah Sumateraan. Tapi pas meraka ngajakin nyanyi lagu Bapalan Solonya Didi Kempot, suara penonton langsung menggelegar ikutan nyanyi semua. Dasar sobat mboissss barisan patah hati, yah!!!
Djaduk dan Kuaetnika
Tepat pukul 23.00 WIB seluruh penonton menerbangkan lampion bersama Bupati Banjarnegara diiringi lagu Tanah Airku. Duh, emosional banget rasanya. Seluruh ego, emosi, marah, benci, sakit hati, dendam, dilepaskan bersama lampion. Langit Dieng berubah gemerlap. Semesta mendukung. Kabarnya tahun ini lampion terakhir yang diterbangkan di event Dieng Culture Festival, tahun depan bakal diganti dengan hal yang lebih seru lagi. Biar mahabenar netijen juga nggak nyinyirin sampah lampion, kan. Ehehehehe
Penerbangan Lampion
Btw, terima kasih untuk teman-teman Aksi Dieng Bersih, untuk panitia Dieng Culture Festival juga, tahun ini penonton makin tertib karena gate tetap ditutup sampai acara selesai. Tapi saat kami mau keluar, agak kesusahan, antrean mengekor berdesakan karena keluarnya satu-satu banget. Semoga juga tahun depan nggak terdengar lagi saut-sautan suara sound system dari venue satu ke venue yang lain. Biar makin syahdu dan membekas di hati. Ya kan biar yang ngebekas bukan cuma pelukan dia aja. Eh Oh ya, semoga lagi tahun depan lampu penerangan di pintu masuk area lapangan Pandawa ditambah lagi, ya! See you, Dieng Culture Festival Ke XI