![]() |
Temurun Privat Museum |
Suara peluit terdengar nyaring dari balik jendela kaca menandakan Kereta Api yang kami tumpangi siap diberangkatkan. Dalam hati, aku merapel doa supaya perjalanan menyenangkan dan selamat sampai tujuan. Surakarta atau Solo lebih dikenal dengan budaya Jawanya, dikenal juga dengan Kota Liwet dan Kota Batik membuat kami memutuskan menuju kota ini.
Cara Berkunjung ke Temurun Privat Museum
![]() |
Temurun Privat Museum |
Sesampainya di Temurun Privat Museum, kami agak kaget. Sempat meragukan, lokasi museum karena nggak ada plang atau tulisan yang menandakan itu Temurun Museum Privat. Tetapi karena kami sudah melakukan penelusuran jauh-jauh hari mengenai lokasi Museum ini, bismillah aja masuk meski pintu gerbang masih tertutup rapat. Saat kami mau masuk ada dua satpam yang sigap menyambut kami. Benar-benar privaaaaat, data kami dicocokan terlebih dahulu dengan data yang mereka miliki, barulah pintu gerbang dibuka.
Mengenal Temurun Privat Museum
Temurun Privat Museum ini merupakan museum pribadi milik Iwan Kurniawan Lukminto. Beliau membuat Museum ini karena terinspirasi koleksi alm. ayahnya. Ada ratusan karya seni masterpiece, mulai dari lukisan modern hingga karya seni kontemporer. Semuanya adalah milik pribadiiiii. Nah keren banget nggak tuh?
Sekitar 300 karya seni berupa lukisan, seni rupa patung, mobil antik klasik, radio antik, meja, dan banyak lainnya tertata rapih di sana. SUMPAH INI MUSEUM TERKEREN DAN TERNYAMAN YANG PERNAH KUDATANGI.
Museum ini terbagi menjadi dua lantai, lantai pertama berisi karya seni kontemporer. Pertama kali kami masuk disambut dengan “Floating Eyes” tumpukan bola mata berukuran besar mengkiap. Floating Eyes ini merupakan istalasi karya Wedhar Riyadi yang pernah menjadi sorotan dalam ajang Artjog 2017 di Yogyakarta.
![]() |
Floating Eyes Temurun Privat Museum |
Aku paling takjub lihat lukisan The Last Supper versi Hanacaraka. Gilaaaak keren buangeeet, lukisan terkenal buatan Leonardo da Vinci dilukis ulang oleh Eddy Susanto dengan teknik menyusun kombinasi huruf hanacaraka yang membentuk gambar The Last Supper Monokrom. Apalagi nggak cuma dilukis di canvas, tapi Eddy Susanto juga melukisnya di meja dengan media kayu. Oh gustiiiii, ini bikin mlongoooo. Ya kali aku nulis aksara hanacaraka aja cletat-cletot lha ini dijadikan lukisan.
![]() |
Sketsa Lukisan The Last Supper versi Hanacaraka Eddy Susanto |
![]() |
Lukisan The Last Supper versi Hanacaraka Media Kayu oleh Eddy Susanto |
![]() |
Lukisan The Last Supper versi Hanacaraka Media Canvas oleh Eddy Susanto |
Selain lukisan Eddy Susanto yang menyita perhatianku lukisan A Heaven Tale oleh JA Pramuhendra, lukisan hitam putih ini dilukis menggunakan arang. IYA ARANG. Ya ampun, aku udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi, cuma bisa mengangkat kamera, mengambil gambar sebanyak yang kubisa, keren gilaaaak gustiii.
Nggak papa meski nggak masuk ke lantai dua, kami udah bahagia banget. Takjub banget, dikasih kesempatan untuk menikmati karya seni sekeren ini. Ya pantes nggak ada HTM karena mau bayar berapapun menurutku nggak bakal sebanding dengan apa yang bisa kami nikmati di dalam museum. Duh pengin ngucapin makasih sama keluarga Lukminto ih. Nggak nyesel ke Solo dengan tujuan utama Temurun Privat Museum.
Baca juga : Mahakarya Muesum Affandi Yogyakarta
Eeih, aku lumayan kerap ke Solo tapi baru tau museum itu dari postingan ini. Thanks.
Saya stuck mantengin foto pertama. Gak lanjut baca ulasan selanjutnya 😉
Wah harus lewat online, saya juga baru tahu nih
Ya itu biasanya datang langsung masuk
Tapi lukisannya memang indah dan mempesona, apalagi yang dari bahan arang itu lo. Wow keren sekali.
Pengin sebenernya pergi-pergi ke museum gitu ,hanya saja belum terbiasa jadi lebih milih di rumah aja hehe
Baru tahu nih mau ke museum booking tempat dulu…btw koleksinya menarik juga sih cuma waktunya perlu lama biar puas lihatnya
foto pertama kayaknya pesannya dalam banget deh!