Karya Anak Bangsa berupa Kowangan |
“Selamat sore, Kak. Boleh lihat e ticketnya?” Sapa mas-mas panitia yang berjaga di pintu masuk event What Is Bundengan 2019.
Aku mengangguk pelan, mencari e ticket yang sebelumnya sudah dikirimkan oleh panitia melalui WhatsApp.
Setelah selesai registrasi, aku diantar menuju homestay yang nggak jauh dari venue utama What Is Bundengan 2019.
Apakah kalian sudah pernah mendengar kata Bundengan? Jujur, baru kali ini aku mendengarnya. Entah berapa kali aku scroll akun instagram @whatisbundengan demi menuntaskan rasa penasaran. Ketertarikanku dengan event ini bukan tanpa alasan, lagu Angger Denok yang dinyanyikan dengan iringan alat musik sederhana beberapa kali kutonton dari status WhatsApp Mbak Wening seolah menghipnotis. Sumpah ini nggak lebay!
Aku benar-benar nggak ngerti yang dimaksud bundengan itu apa. Apakah daerahnya? Orangnya? Lagunya? Atau alat musiknya? Kumerasa anak muda yang nggak cinta budaya, padahal selain cinta kamu, kujuga cinta buanget dengan budaya. Serius! Wis wis wis. Bubar.
Kenalan dengan Bundengan, Yuk!
Nah ternyata, Bundengan ini merupakan sebuah alat musik khas Ngabean, Kalikajar, Wonosobo. Bahan utamanya terbuat dari bambu. Gila nggak tuh, cuma dari bambu bisa menghasilkan musik yang magi banget. Eh tunggu dulu, sebelum jadi alat musik, bundengan memiliki fungsi sebagai kowangan (payung/tudung).
Awal mulanya tudung ini digunakan oleh kalangan raja sebagai pengganti payung, namun kowangan mulai tersisih setelah munculnya payung kertas. Hingga akhirnya kowangan digunakan oleh penggembala bebek di sawah. Kowangan berfungsi sebagai pelindung tubuh dari hujan maupun panas matahari.
Penggembala bebek lebih sering nglangut saat menunggu bebek-bebeknya di sawah, maka munculah ide memasang ijuk di bagian dalam kowangan ini. Ijuk ini sebagai dawai yang dapat menimbulkan resonansi. Bisa bayangin nggak? Tali ijuk dibuat menjadi dawai? Susah ye kan? Nah awal mulanya ijuk diganti dengan senar raket, sampai akhirnya diganti dengan senar khusus untuk alat musik. Kamu bisa bayangin nggak suara yang keluar dari bundengan kaya apa? Dung ding teng ting doang? Oh tidaaaak dong. Satu bundengan ini kalau dimainkan bisa menghasilkan musik seperti suara satu set gamlean. Iya gamelan coy!
Tahun 2000n sosok alm. Barnawi dari Kalikajar, Wonosobo nguri-nguri alat musik bundengan yang hampir musnah. Nah, sepeninggalan beliau, alat musik ini dimainkan oleh bapak Bukhori dan bapak Munir bisa dikatakan mereka ini adalah salah satu penerus pemain musik bundengan di Ngabean.
Sambutan dari Wiyono Undung Wasito, SS (Kemendikbud RI) |
Event What Is Bundengan 2019 merupakan salah satu wujud kecintaan terhadap alat musik bundengan dengan mengusung tema Bercerita dalam Kesederhanaan. Event ini dikemas dengan sangat menarik, selama 3 hari 2 malam peserta diajak mengenal Bundengan dan Dusun Ngabean lebih dekat. Mulai dari kegiatan workshop, belajar membuat kowangan mini, nyore di sawah hingga disuguhkan pameran dan pagelaran seni dengan kolaborasi alat musik Bundengan. Mantap kan? Mantap dong!!
Event ini berlangsung pada tanggal 25-27 Oktober 2019 yang berlokasi di dusun Ngabean, desa Maduretno, kecamatan Kalikajar, kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Sebuah desa tempat lahirnya alm. Barnawi sang Maestro Bundengan.
Bundengan Talks
Bundengan Talks Bapak Singgih & Palmer Keen |
Btw, selain lagu Angger Denok yang membuatku penasaran dengan What Is Bundengan 2019 adalah bundengan talk dengan pembicara dari berbagai sudut pandang. Ada native to Ngabean, DIY Ethnomusiologist USA, Gajah Mada Universty, Young Bundengan Activisit Wonosobo, dan Founder/Initiator Coolaborate Muda di Desa dan Seluruh Indonesia. Wohoho, pas baca pembicaranya siapa kulangsung kepo maksimal dong ya. Dan memang benar, dari Bundengan Talks kudapat banyak ilmu. Yang paling terngiang saat Pak Singgih Susilo Kartono (Spedagi) menyampaikan bahwa “Masa depan adalah masa lalu dengan wujud baru”. Pliiis ini bukan soal bucin yang ngomongin masa lalu mulu, tapi memang kusepkat dengan apa yang beliau sampaikan.
Workshop Membuat Kowangan Mini
Bancakan di Bukit Sipacul |
Setelah selasai sesi Bundengan Talks, kami menuju bukit Sipacul untuk makan bersama sekaligus membuat kowangan mini. Bukitnya nggak jauh dari venue utama kok, tinggal nglewatin sawah dikit, nanjak sampailah sudah. Sajian makanan tradisionalnya enaaaaak-enaaaaak banget, padahal aku tuh tipe anak yang susah makan, pilih-pilih banget macam milih jodoh gitulah, sampai-sampai saat aku pamitan berangkat ibuku khawatir di Ngabean makanku gimana karena nggak suka sayuran. Tapi alhamdulillah amannn, meski makanan sayur mayur segala rupa kudoyaaaan. Mungkin karena makannya juga bancakan, ramai-ramai jadi terasa nikamatnya.
Selesai makan, kami bersiap membuat kowangan mini. Tiap peserta diberi bambu yang sudah dipotong sesuai kebutuhan. Ada bambu pendek dan panjang. Semua peserta terlihat antusias menganyam bambu-bambu dengan penuh cinta, termasuk aku. Semangat banget meski ujungnya dibantu oleh mas-mas panitia karena lugut sudah menguasai daguku. Lah emang ngayam bambu pakai dagu? Nggak laaah! Tapi karena kegatelan aja sih jadi lengan dan dagu gatal-gatal. Wkwkwkwk
Menganyam bambu untuk membuat Kowangan |
Proses membuat Kowangan |
Antusia peserta membuat Kowangan |
Setelah potongan bambu dianyam, ujung bambu diikat menggunakan ijuk, sedangkan badan luar kowangan dilapisi dengan sumpring (kulit bambu), ikat sana ikat sini. Taraaaa, jadilah kowangan mini. Sebenarnya pengin kubawa pulang tapi susah di jalan. Jadinya kutinggal di homestay. Huhuhu
Nyore di Sawah Ngabean
Keseruan kami masih berlanjut saat menyusuri hamparan sawah Ngabean. Beberapa kali kami melewati aliran sungai yang nggak begitu besar. Meski aku anak desa, tetapi dari kecil nggak pernah bermain di sawah. Ya gimana ada sawah, wong desanya pegunungan. Wkwkwkwk
Menuju Sawah Ngabean |
Beruntung banget aku bisa merasakan nyore di sawah. Alunan musik bundengan tertiup angin spoi memenuhi langit sore kala itu. Kuambil posisi duduk ternyaman sambil menikmati teh hangat dan timus goreng. Syahdunyaaa…. Lagi-lagi timusnya enaaaaaak buangeeettt. Dasar ya!
Serunya, di sawah ada segrombolan anak-anak yang sedang duduk melingkar sambil nyanyi gundul-gundul pacul. Ini mah nostalgia, panitianya bisaan banget. Lucunya diantara mereka ada yang nari-nari gitu.
Keseruan anak-anak di tengah sawah |
Pasar Jajan What Is Bundengan 2019
Sebenarnya masih pengin nyore di sawah, tetapi mengingat baterai kamera dan handphone kudu di charge demi malam puncak, kami rela kembali ke homestay. Nah ternyata, saat kami menuju homestay di komplek venue utama sudah ada stan-stan berjejer menyuguhkan jajan pasar.
Bubur sum-sum pasar jajan WIB 2019 |
Aneka jajan tradisonal yang ada di Pasar WIB 2019 |
Buru-buru mataku memandang ke berbagai arah, mencari jajan yang kumau. Yap! Nemu bubur sum-sum, jajan bocah yang udah jarang kutemui di daerahku. Fyi, sepiring bubur sum-sum ini disajikan dengan butiran candil dan siraman kental gula jawa cair. Harganya cuma Rp. 3 ribu rupiaaaah, murahhhh bangeeet. Pengin beli lagi tapi perutku udah nggak muat. Soal rasa nggak usah ditanya, enaaaakkkk buangettt, juara emang buibu PKK Ngabean. Konsep pasar jajan ini juga back to nature, nggak ada makanan yang menghasilkan sampah susah terurai, semuanya tradisional.
Suasana Malam di What Is Bundengan 2019
Pojok Pameran
Malam pertama di Ngabean aku menyempatkan melihat pameran lukisan bundengan dan foto tempo dulu. Ajib!!! Aku selalu menyukai karya seni berupa lukisan. Mataku berpindah dari pigura satu ke pigura yang lain. Epic. Bagussss banget. Pengin kubawa pulang satuuuuu, huhuhu
Pojok Pameran Seni Lukis WIB 2019 |
Beberapa Seni Lukis WIB 2019 |
Selain lukisan, ada juga foto bundengan tempo dulu yang disusun rapih diantara bambu-bambu.
Pagelaran Kolaborasi Seni Bundengan
Kolaborasi Tari dengan Alat Musik Bundengan |
Dua malam berturut-turut, kami dimanjakan oleh panggung sederhana namun bisa menyampaikan cerita hangat kepada kami. Alat musik bundengan memang nggak bisa terlepas dari sawah, namun jangan salah lho, alat musik bundengan juga bisa dipadukan dengan berbagai kesenian tradisional hingga modern. Salah satunya dengan Tari Lengger, Pantomim, kesenian Kuda Kepang, Tari Topeng, dan masih buanyak lagi. Duh ya, terasa mesra banget duduk lesehan depan panggung dengan udara dingin Wonosobo.
Pertunjukan Tari di WIB 2019 |
Tari Topeng di WIB 2019 |
Pantomim di WIB 2019 |
Meski agak takut-takut dengan kesenian Kuda Kepang tapi semuanya berjalan aman dan lancar. Rekor nih, seumur-umur baru pernah nonton Kuda Kepang dan duduk mentereng di depan sendiri. Walaupun di daerahku masih banyak kesenian ini, tapi kutakut sama yang mendem-mendem. *ngakunya mah cinta budaya, gitu doang baru pernah nonton. Preeet memang!
3 hari 2 malam di Desa Bundengan
Rasanya gimana tinggal di rumah warga? Apalagi dengan hawa yang sedikit berbeda dengan tempat tinggalku. Asyik? Seru? Menyenangkan? Pasti dong! Selama di Ngabean aku tinggal di rumah Bu Marni, beliau ramah dan asyik diajak ngbrol. Keseharian Bu Marni yang berjualan jajan desa dan membuka angkringan setiap sore membuatku belajar banyak. Belajar mengolah makanan sehat dan enak, belajar mengisi waktu luang dengan aktivitas positif, dan belajar bangun pagi. Eh tapi iya! Wkwkwkwk
Belajar membuat Onde-onde di Homestay Bu Marni |
Warga Ngabean sama dengan warga desaku, ramah. Ketika adzan berkumandang, banyak anak kecil berlarian menuju ke mushala. Hampir setiap waktu Maghrib, Isya, dan Subuh terdengar lantunan Al-Quran saling sahut dari toa masjid. Sejuk! Adem. Berasa sedang berada di kelas mendengarkan anak-anak menghafal suratan.
Dari Ngabean, aku memperoleh hal baru yang nggak mudah kulupakan. Apalagi lagu Angger Denok seolah sudah tertanam di hati dan pikiran. Sosok bapak Bukhori dan bapak Munir saat membawakan syair ela elo ela pun terekam jelas diingatanku.
Terima kasih untuk segenap teman-teman What Is Bundengan 2019, kalian kerennnn! Sehat selalu, ya! Semoga dengan adanya event ini Bundengan akan terus hidup di Ngabean hingga go to International. See you, Bundengan 2020😍
Kak boleh nanya nggak?
Angger denok itu apa?
Kayake pas acara ini teman-teman kopi dari Jogja banyak yang datang. Sepertinya kenalan dari teman-teman kopi Kalikajar
Ternyata dibalik tampilan uniknya yang tradisional, menyimpan sejarah yang menarik untuk di ikuti…
Saking penasaran sama alat musik ini saya sampe nyari di yutub. Asli keren yah, sederhana dari bambu tapi bisa menghasilkan irama.
kalo di jawabarat yang terbuat dari bambu ya angklung
Saya kira ngabean parkir deket malioboro ._.
Ella ini aktifis kehidupan bermasyarakat sekali yaaaaaaaa. Keren.
Subahanllah adeeem banget asri banget sejuk banget, Wonosobo ternyata seperti ini kotanya. Jauh beda sama kotaku 🙁
*Btw saya teralihkan oleh Palmer Keen hehehe
Aku bareng sm mbak Sasha dan Mas Charis, Mas
Beneeer bgt, aku aja smpe heran baru pernah dengar dan tahu tentang bundengan ini
Baang lagu elaaa eloo la elaaa duh enak banget buat pengantar bobok
Bedaaa sama angkluunggg. Beda bangeeeet
Mas Feebbb.. Ya bukan tempat parkir bus2 juga woiii.. Aktifis gegoleran tiap hari
Wah iyaaa.. Palmer keen cinta banget sama Bundengan, Mbak. Wkwkwk
Wah keren banget acaranya. ADa Sasha & IDah juga. Jadi pengin banget bubur sumsum & bancakannya.
iya mbak, seruuuuu… aku juga jd pengin bubur sumsum lagiii uw
Seru banget ya mbakkk
Jadi penasaran dehhh
Kayanya asik gtu ya apalagi main sama temen2.. cuma jauh euy pengen kesana
Bener2 seruuu. Penasaran sm apanya nih? Ekekek
Kl pas main ke Jateng coba mlipir ke Wonosobo mbak. Hehe
aku tuh sampe googling bntuk dn suar si bundengan ini mba. krn awalnya ga kebayang seperti apa. setelah melihat alatnya dan dengerin suaranya, kagum langsung. ga nyangka dr alat yg mirip payung gitu bosa ngeluarin nada2 yaaa :). semoga budaya begini ga akan punah dan bisa diteruskan ama yg lainnya