Apakah cuma aku yang tiap bertemu dengan orang baru, lantas memulai obrolan dengan menanyakan asal daerah masing-masing rasanya menjadi beban mental untukku? Sedih nggak sih ketika aku menjawab berasal dari kabupaten Banjarnegara tiba-tiba dengan entengnya mereka langsung menimpali dengan kalimat “oh Banjarnegara yang sering longsor itu, ya? Yang sering kekeringan itu, kan? Terus yang kemarin ada puting beliung di alun-alun juga, ya?” Gusti, apa iya di luar sana Banjarnegara hanya dikenal dengan segudang bencananya? Meski menyakitkan, nggak membuat aku dan beberapa teman komunitas tetap semangat untuk mengenalkan Banjarnegara dengan potensi yang dimilikinya.
Perubahan Iklim Penyebab Utama Bencana Alam
Memang aku akui kota kelahiranku ini memiliki riwayat bencana alam yang sering terjadi. Jika musim penghujan datang, beberapa kecamatan rawan longsor. Pun sebaliknya jika musim kemarau, beberapa kecamatan terancam kekeringan termasuk desa tempat tinggalku. Padahal menurut cerita si mbahku, puluhan tahun silam Banjarnegara hampir nggak pernah mengalami kekeringan dan longsor. Namun, saat ini bencana alam seperti kekeringan dan longsor kian menjadi. Penyebab utamanya tidak lain adalah perubahan iklim yang semakin tahun makin dirasakan dampaknya.
Menurut data The Cilimate Reality Project Indonesia, pada tahun 2019 Indonesia mengalami 3.768 kejadian bencana yang sebagian besar merupakan bencana hidrometeorologi, yang diakibatkan dari fenomena meteorologi seperti hujan lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi. Pada dasarnya perubahan iklim disebabkan oleh 2 faktor, pertama, perubahan iklim secara alami yang ditentukan oleh orbit Bumi. Kedua, perubahan iklim antropogenik yang disebabkan oleh ulah manusia yang melakukan kegiatan berlebihan seperti penggunaan bahan bakar fosil dan berbagai pencemaran sehingga menyebabkan emisi gas rumah kaca, yakni pengeluaran karbon dioksida yang memerangkap panas. Nah emisi gas kaca ini berdampak pada suhu atmosfer yang meningkat sehingga penguapan air tanah pun mengalami peningkatan yang mengakibatkan kekeringan, kebakaran hutan, dan gelombang panas di tempat-tempat kering, serta hujan besar dan bajir.
Dari kedua faktor bencana alam di atas, sudah sepatutnya kita sebagai manusia yang dibekali akal dan kemampuan dapat berusaha meminimalisir perubahan iklim yang semakin parah. Untuk mengatasi krisis iklim diperlukan kesatuan tanggapan dalam bentuk multilateralisme inklusif yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat serta mobilisasi sumber daya secara global. Kita dapat melakukan hal-hal terkecil seperti menghemat penggunaan energi untuk turut menjaga kelestarian alam demi masa depan mendatang supaya tidak terjadi krisis iklim.
Dampak Virus Corona Terhadap Perubahan Iklim
Alhamdulillah saat ini Banjarnegara ‘sedang’ aman dari bencana alam, namun ada bencana yang lebih mengkhawatirkan karena penyebarannya yang begitu cepat. Yap! Corona (Covid-19) yang sudah masuk ke berbagai wilayah Indonesia termasuk Banjarnegara. Adanya wabah ini menjadi kita belajar bagaimana harus adil terhadap lingkungan dan keberlangsungan masa depan.
Meskipun beberapa orang beranggapan bahwa virus corona berdampak positif terhadap semesta seperti langit menjadi biru, polusi udara berkurang sangat signifikan, jalanan menjadi lengang tanpa kemacetan. Namun, adanya pandemi ini bukan solusi terhadap masalah iklim dan lingkungan karena dampak negatifnya ternyata lebih mengerikan karena menimbulkan krisis di berbagai sektor seperti kesehatan, pariwisata, ketenagakerjaan, hingga krisis ekonomi global. Pandemi ini bisa dijadikan sebagai contoh kecil kondisi di masa depan jika terjadinya krisis iklim, bahkan mungkin dampak dari krisis iklim lebih dahsyat dibandingkan dengan pandemi ini.
Ilustrasi before-after Pandemi Covid-19
Berkaca dari dampak corona yang mengharuskan tiap orang beraktivitas di rumah mulai dari bekerja, belajar, beribadah, hingga aktivitas jual beli sehingga sudah sepatutnya kita merefleksikan gaya hidup new normal dan juga bijak terhadap pemanfaatan energi serta kesadaran pola konsumsi yang berkelanjutan untuk kehidupan mendatang. Di sisi lain adanya virus corona juga berdampak dalam konsumsi energi rumah tangga yang makin meningkat.
Lalu bagaimana caranya supaya bijak dalam menggunakan energi di tengah pandemi ini demi menahan laju perubahan iklim?
Langkah Bijak Menggunakan Energi Di Tengah Pandemi
Beberapa Langkah Bijak Menggunakna Energi di Tengah Pandemi
Sebetulnya cara ampuh supaya bijak dalam penggunaan energi untuk menahan laju perubahan iklim yang terus terjadi harus didasari oleh kesadaran dan kepedulian terhadap kehidupan berkelanjutan. So, mari kita sama-sama membuka hati dan pikiran untuk menjaga energi supaya bumi tetap lestari. Jujur, tiap kali membahas materi energi bumi bersama anak-anak di kelas semangatku menggebu. Sekuat yang aku bisa, mencoba menanamkan kecintaan lingkungan kepada generasi mendatang. Tiap kali membahas pemanfaatan energi harapanku semakin tumbuh. Semoga, kita semua sadar akan bahayanya krisis iklim yang bisa saja terjadi. Untuk itu, kita bisa memulai dari diri sendiri dengan hal sederhana untuk menghemat energi di masa pandemi. Nah berikut ini langkah kecil yang bisa kita lakukan:
Gunakan Air Seperlunya
Ngomongin hemat air jadi ingat tiap musim kemarau kami selalu mengalami kekeringan, mau nggak mau harus mengeluarkan uang untuk “membeli air”. Hampir tiap pagi dan sore di musim kemarau jalanan desa kami dipenuhi dengan jerigen-ember-baskom, atau apapun yang bisa menjadi tempat penampung air. Duduk di teras rumah sembari menunggu mobil pembawa air datang rasanya sudah menjadi pemandangan yang wajar.
Beli air untuk kebutuhan sehari-hari
Tak heran ketika mobil pembawa air datang, raut wajah para ibu-ibu terlihat sumringah karena nggak bisa dipungkiri air memang mendukung keberlangsungan semua kehidupan di Planet Bumi. Namun seringkali tanpa sadar kita menggunakan air tanpa perhitungan. Apalagi dengan dalih “buat apa hemat air, toh kita juga membayar“. Ya kali meskipun membayar, nggak seharusnya bersikap demikian. Bagaimana masa depan anak cucu kita kalau kita nggak memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap energi saat ini?
Apalagi di tengah WFH seperti sekarang, otomatis penggunaan air rumah tangga meningkat. Kita boleh kok menikmati air untuk kebutuhan hidup, tetapi jangan lupa untuk melaksanakan kewajiban terhadap air dengan cara berikut:
Pemanfaatan Air Hujan untuk Menyiram Tanaman
Manfaatkan air hujan untuk menyiram tanaman atau mencuci alas kaki.
Menyiram tanaman di pagi hari supaya air tidak menguap sebelum diserap tanaman.
Matikan keran air jika sudah tidak digunakan.
Berwudlu dengan membuka keran air tidak terlalu besar.
Hemat Energi Listrik
Aku nggak bisa membayangkan hidup di era digital seperti sekarang tanpa adanya energi listrik. Mati listrik beberapa jam saja bisa mengganggu aktivitas. Tapi, sudahkah kita bersyukur dengan adanya energi listrik? Masih banyak masyarakat di luar sana yang belum bisa menikmati listrik selama 24 jam, lho. Masa iya kita yang bisa menikmatinya nggak bisa sedikit menghemat?
Mengacu data ESDM pada Maret 2020, konsumsi listrik rumah tangga selama WFH naik sebesar 1,3%. Menurutku naiknya konsumsi listrik rumah tangga memang wajar karena semua mobilitas kita beralih di rumah masing-masing. Tapi kenaikan konsumsi listrik rumah tangga ini bisa kita minimalisir, tinggal kita pilih mau hidup sadar dan peduli atau hidup bodo amat dan egois? Inisiatif bisa datang dari diri sendiri, kok.
Yuk menghemat energi listrik mulai dari hal terkecil seperti:
Kiat Cerdas Hemat Energi Listrik
Charger handphone, laptop, earphone, kamera, atau barang elektronik lainnya sampai daya terisi penuh 100% lalu jangan lupa segera cabut colokan dari stop kontak.
Hindari penggunaan elektronik yang stand-by mode.
Perbanyak aktivitas di siang hari supaya penggunaan listrik bisa diminimalisir daripada aktivitas di malam hari yang membutuhkan penerangan lampu.
Gunakan AC, kipas angin, TV, Home Teater, magicom, dll seperlunya saja. Jangan membiarkan TV menyala ketika kita tertidur. Bukan kita yang nonton TV dong, malah TVnya yang n