Meruntuhkan Tembok Dusta: Kisah Ratna Indah Kurniawati Melawan Stigma Kusta

oleh Ella Fitria

Penyakit terbesar saat ini bukanlah penyakit kusta atau tuberkulosis, melainkan merasa menjadi pribadi yang tidak diinginkan.

Mother Teresa

Kutipan di atas sering digunakan untuk menyampaikan pesan bahwa diskriminasi dan prasangka buruk terhadap penderita kusta merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia. Kutipan tersebut juga menyiratkan makna bahwa perasaan menjadi pribadi yang tersingkir dari lingkungan, sebenarnya lebih menyakitkan dibandingkan penyakit kusta itu sendiri.

Diskriminasi dan stigma negatif tentang kusta telah tumbuh sejak dahulu. Sebagian orang menganggap penyakit ini menjijikkan, berbahaya, bahkan dianggap sebagai penyakit kutukan. Banyaknya mitos dan informasi tidak benar yang beredar tentang penyakit kusta, menjadikan stigma negatif dan diskriminasi kusta tumbuh subur di masyarakat.

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Menurut catatan WHO, kabarnya penyakit ini sudah ada sejak 300 SM dan telah dikenal oleh peradaban kuno Mesir, Tiongkok, dan India. WHO juga mencatat bahwa sepanjang sejarah para penderita kusta sering kali dikucilkan oleh keluarga, bahkan masyarakat.

Ilustrasi bakteri penyebab kusta Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh Gerhard Henrik Armauer Hansen (olah gambar oleh Ella Fitria dari sumber gratis freepik dan wikipedia)

Penyakit kusta atau dulu sering disebut lepra ini merupakan penyakit kronis yang memang dapat menular. Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (M. Leprae). Dalam bidang medis modern, kusta juga disebut sebagai penyakit Hansen. Hal ini dikarenakan bakteri penyebab kusta ditemukan oleh seorang ilmuwan dari Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873.

Penamaan penyakit Hansen ini tidak hanya untuk dedikasi penemunya, melainkan juga sebagai penamaan alternatif yang lebih netral untuk mengurangi stigma negatif yang melekat pada kata tersebut. Mengingat kata leprosy atau lepra memiliki konotasi yang negatif pada masa lalu.

Banyaknya stigma negatif, mitos, dan informasi yang tidak benar yang beredar, membuat beberapa orang tergerak hatinya untuk turut berjuang membantu para penderita kusta dan melakukan sosialisasi di lingkungan penderita. Upaya ini bertujuan untuk meruntuhkan tembok dusta tentang kusta yang sering kali membuat masyarakat menjauhi penderita kusta. Salah satu sosok relawan hebat yang turut membantu para penderita kusta di Indonesia, yaitu Indah dari Pasuruan, Jawa Timur.

Perjuangan Indah dalam Meruntuhkan Tembok Dusta Kusta

Ratna Indah Kurniawati dan Puskesmas Grati tempatnya mengabdi sebagai relawan KPD (sumber dari Google Map dan WartaBromo TV)

Ratna Indah Kurniawati sering disapa dengan panggilan Indah ini merupakan aktivis kesehatan dan relawan asal Desa Cukur Gondang, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Pengabdian Indah sebagai relawan dalam mengobati kusta berawal sejak tahun 2008 saat dia terpilih menjadi ketua Kelompok Perawatan Diri (KPD) di Puskesmas Grati.

Kecamatan Grati sendiri merupakan 1 dari 3 wilayah yang memiliki banyak penderita kusta. Menurut data dari pemerintah Kabupaten Pasuruan, setidaknya ada 298 kasus kusta di Grati pada tahun 2009-2016. Tingginya kusta di kecamatan ini disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang kusta, pola hidup yang kurang bersih, hingga penanganan dan pendekatan dalam pemberantasan kusta yang kurang optimal.

Di lingkungan Puskesmas Grati, penyakit kusta umum dikenal sebagai penyakit yang memiliki citra atau stigma negatif. Penderita kusta kerap kali mendapat diskriminasi dari masyarakat sehingga penderita merasa malu yang menjadikannya enggan untuk berobat ataupun bersosialisasi. Stigma terhadap penyintas atau Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) membuat mereka kesulitan untuk berintegrasi dalam masyarakat. Meskipun sudah sembuh, stigma ini masih melekat padanya sehingga menghambat partisipasi dan keterlibatan sosial mereka.

Melihat kondisi tersebut, Indah tergerak hatinya untuk turut memberantas kusta dan menghilangkan stigma negatif yang melekat di masyarakat. Tentu saja perjalanan Indah tidak semulus seperti yang dia harapkan. Indah mendapatkan banyak penolakan dari berbagai pihak, mulai dari penderita itu sendiri yang menolak diobati karena malu, dari masyarakat, hingga dari keluarganya sendiri.

Penolakan dan Rintangan yang Berdatangan

Perjuangan Indah pada awal dedikasinya memerangi stigma buruk penyakit kusta terbilang cukup sulit. Indah harus berjuang memantapkan keteguhan hatinya untuk mengalahkan rasa takut akan tertular apabila dia sering berinteraksi dengan penderita kusta secara intens dalam jangka waktu yang lama.

Selain itu, suami Indah, Miftahul Ulum menjadi orang yang paling menentangnya ketika melakukan kegiatan bersama para penderita kusta. Bahkan, suami Indah pernah memberikan pilihan yang sangat sulit untuk Indah, yakni memilih untuk lebih mementingkan keluarga atau melanjutkan kegiatan sosialnya. Alasannya, suami Indah khawatir jika penyakit tersebut nantinya dapat menular ke anak-anak di rumah.

Pernah suatu ketika Indah kedatangan pasien kusta ke rumahnya untuk bertamu. Begitu tamu tersebut pulang, suami Indah dengan kesal melarang pasien kusta tidak boleh bertamu ke rumahnya. Dia khawatir penyakit kusta dapat menular ke anak-anak. Indah bercerita kalau suaminya bahkan mencuci dan menjemur kursi duduk bekas tamunya karena saking takutnya jika sampai tertular penyakit kusta.

Aktivitasnya dalam memerangi penyakit kusta juga mengurangi waktu bersama keluarga. Indah rela mengorbankan waktu dengan anak dan menyisakan hari minggu sebagai waktu untuk family time. Tidak jarang Indah juga menggunakan hari minggu untuk kegiatan mendesak atau kegiatan penting lainnya bersama penderita kusta.

Kegiatan-kegiatan sosialnya ini tidak selalu berjalan mulus. Indah sempat menceritakan bahwa hampir setiap perangkat desa antipati terhadap penderita kusta ataupun kegiatan mereka. Terjadi penolakan di dalam masyarakat tentang kegiatan-kegiatan yang melibatkan penderita kusta sudah menjadi hal biasa bagi Indah. Mereka khawatir jika penyakit “kutukan” itu menghampirinya.

Indah menceritakan pernah terjadi penolakan dalam pertemuan para penderita kusta di balai desa oleh warga sekitar. Kebetulan, tempat diadakannya kegiatan tersebut berdekatan dengan sebuah sekolah dan banyak anak-anak yang sering bermain atau melakukan kegiatan di balai desa tersebut. Masyarakat khawatir jika penyakit ini akan membahayakan anak-anak di lingkungan sekolah mereka.

Tidak tinggal diam, Indah melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada perangkat desa dan tokoh setempat guna memberikan edukasi dan pemahaman tentang kusta. Indah menyampaikan bahwa penderita kusta yang sudah diobati tidak akan menularkan penyakit kepada orang lain.

Selain penolakan dari keluarga sendiri dan masyarakat, penolakan juga terjadi oleh keluarga pasien. Salah satunya adalah dari keluarga Pak Somat, pasien yang tidak mendapatkan perawatan maksimal karena keengganan keluarga untuk merawat dan mengobatinya.

Kondisi Pak Somat sendiri terbilang sudah cukup parah. Kaki dan tangannya penuh luka dan membusuk hingga melumpuhkan syaraf-syaraf di kakinya. Hal ini membuat Pak Somat tidak bisa lagi berjalan. Dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut, keluarga menjadi takut dan mengasingkan Pak Somat supaya tidak berinteraksi dengan siapapun.

Pak Somat diasingkan dan tinggal di gubug jauh dari pemukiman karena keluarga takut tertular. Indah sempat menawari pihak keluarga supaya Pak Somat dirawat di Rumah Sakit Kusta. Namun, rencana pengobatan tersebut gagal karena tidak ada pihak keluarga yang mau mengurusnya di rumah sakit. Hingga akhirnya Pak Somat tinggal di gubug sampai akhir hayatnya tanpa mendapat perawatan yang layak.

Penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat dari rumah ke rumah (Sumber Blog KPD Grati)

Tidak ingin kejadian tersebut terulang kembali, Indah makin gencar melakukan sosialisasi dari rumah ke rumah. Tujuannya untuk menyadarkan berbagai pihak betapa pentingnya edukasi kusta dan membuka kebenaran tentang kusta yang selama ini tertutup dusta.

Fakta Tentang Kusta yang Tertutup Dusta

Dalam sosialisasi yang dilakukan Indah tersebut, dia berusaha meruntuhkan dusta-dusta tentang kusta yang sudah mendarah daging dalam masyarakat. Indah mengedukasi masyarakat tentang fakta kusta dan bagaimana penyakit tersebut dapat menular.

Indah menjelaskan bahwa penyakit kusta ini memang menular, tetapi sangat sulit untuk menular ke orang lain. Penyakit ini sulit menular karena diperlukan waktu yang lama dan kontak secara intens dengan penderita. Daya tahan tubuh seseorang juga berperan penting dalam imunitas terhadap kusta.

Fakta tentang kusta (olah gambar oleh Ella Fitria dari sumber gratis freepik)

Pernyataan dari Indah ini diperkuat dengan penjelasan dari ilmuwan molecular biology dari San Diego yaitu Cressida Madigan, PhD. Menurut ilmuwan tersebut, penyakit lepra adalah penyakit yang sangat sulit menular. Seseorang dapat tertular jika melakukan kontak intens dalam jangka waktu yang lama seperti hidup berdampingan selama bertahun-tahun.

Lebih lanjut, Indah menambahkan jika masa inkubasi dari kusta ini cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun. Jika seseorang memiliki daya tahan tubuh yang baik, bakteri penyebab kusta dapat dikalahkan sebelum gejala penyakit ini muncul dan dapat sembuh dengan sendirinya.

Anggapan dan stigma negatif masyarakat tentang kusta sangat mudah menular pun terbantahkan. Faktanya, kusta tidak menular melalui sentuhan kulit, duduk bersama, hubungan seksual, atau pun dari ibu ke janin. Kusta menular melalui saluran pernapasan. Selain itu, 95% orang secara alami kebal terhadap kusta. Fakta ini menjadikan penyakit kusta sebenarnya tidak begitu “ampuh” dalam menjangkiti sebagian besar orang.

Melalui sosialisasi, Indah juga meyakinkan kepada masyarakat bahwa pasien yang telah menjalani pengobatan tidak akan menularkan penyakit tersebut kepada orang lain. Bakteri penyebab kusta ini sudah tidak dapat menular sehingga penderita kusta tidak perlu lagi dijauhi dan didiskriminasi.

Pendekatan dan sosialisasi tentang kusta kepada masyarakat pun lambat laun membuahkan hasil. Aparat desa, tokoh masyarakat, keluarga dan stakeholder setempat bersatu padu mendukung kegiatan yang dipelopori oleh Indah. Hingga akhirnya, masyarakat sekitar ikut terbuka dan menerima para penyintas kusta atau OYPMK dalam kehidupan sosial mereka.

Pemberdayaan untuk Menyongsong Kemandirian

Perjuangan Indah dalam memerangi penyakit kusta tidak hanya berhenti pada pengobatan dan meruntuhkan stigma negatif saja. Lebih lanjut, Indah juga memberi kesempatan pada para OYPMK untuk berdaya dalam masyarakat.

Para penyintas sulit mendapatkan pekerjaan karena keterbatasan fisik akibat cacat yang diakibatkan penyakit kusta. Terlebih mereka juga merasa masih malu untuk berbaur dan beraktivitas sosial seperti orang pada umumnya. Beberapa orang juga lebih memprioritaskan pekerja yang tidak memiliki disabilitas fisik.

Meskipun pada kenyataannya pemerintah telah memberi porsi 1% dari total tenaga kerja untuk penyandang disabilitas, tetapi masih banyak perusahaan yang belum mengikuti dengan aturan tersebut karena berbagai faktor. Hal ini tentu dapat menyulitkan bagi para OYPMK untuk mendapatkan lapangan pekerjaan.

Melihat kondisi tersebut, Indah berinisiatif untuk memberdayakan mereka dengan memberikan pelatihan. Dia mendatangi satu persatu penderita kusta untuk dikumpulkan dalam satu wadah. Nantinya dalam wadah tersebut, Indah dapat memberikan edukasi tentang kusta dan pelatihan yang dapat dijadikan bekal dalam bekerja atau berwirausaha.

Awalnya, hanya segelintir saja yang mau dan terbuka untuk ikut dalam kegiatan tersebut. Namun, berkat kegigihan Indah membujuk para penderita kusta dan OYPMK, akhirnya satu persatu dari mereka mulai mau diajak untuk berkumpul dalam kegiatan yang digagas Indah.

Dalam wadah tersebut, Indah memberikan pelatihan seperti ternak jangkrik, kambing, dan ternak ayam untuk laki-laki. Sementara itu, untuk perempuan disediakan pelatihan menjahit dan menyulam. Harapannya, dengan adanya pelatihan ini para penyintas dapat menjadi pribadi mandiri dan berdaya.

Menengok Transformasi Positif Penyintas Kusta melalui Berbagai Pemberdayaan

Menengok sekilas kisah Amat seorang warga dari Desa Rebalas di Kecamatan Grati, Pasuruan harus menerima kenyataan memilukan akibat penyakit kusta. Pada tahun 1997, dia harus pasrah saat salah satu jari tangannya yang telah kehilangan fungsinya tanggal begitu saja. Ironisnya, ketika jari itu copot, Amat sama sekali tidak merasakan sakit. Satu persatu jari yang lain pun akhirnya ikut tanggal. Tanpa jari tangan, Amat harus menggantungkan hidupnya pada orang tuanya dan melakukan pekerjaan-pekerjaan seadanya, seringkali dia mencari kayu bakar atau menjadi pemetik sayuran untuk bertahan.

Pemberdayaan penyintas kusta melalui ternak jangkrik (Sumber Blog KPD Grati)

Namun, semua itu adalah kisah masa lalu yang mengesankan. Sejak bulan Agustus tahun 2010, Amat bisa tersenyum kembali. Dia telah menemukan semangat dan harapan baru dalam hidupnya karena memiliki usaha beternak jangkrik. Setiap bulannya, Amat berhasil memanen hingga 26 kilogram jangkrik dengan harga jual berkisar antara Rp 20 hingga Rp 30 ribu per kilogram. Cerita Amat menjadi bukti nyata akan kekuatan tekad dan semangat manusia untuk mengatasi segala rintangan dan mencapai perubahan positif dalam hidup.

Pelatihan menjahit untuk penyintas kusta perempuan (Sumber Blog KPD Grati)

Tidak hanya kisah Amat yang menginspirasi, tetapi juga ada banyak kisah lain yang memancarkan semangat hari ini dan masa depan Indonesia dalam perlawanan terhadap stigma kusta. Sejak 2008-2019, Indah sudah membantu sekitar 400 penderita kusta di 9 desa. Ada kisah-kisah lain yang sungguh mengesankan, terutama yang melibatkan penyintas kusta perempuan. Berkat sosok Indah, para penyintas kusta perempuan dibekali dengan pelatihan dalam keterampilan menjahit dan menyulam jilbab. Mereka berkumpul seminggu sekali di Komunitas Penyintas Kusta (KPK) di balai desa.

Produk hijab yang dihasilkan para penyintas kusta perempuan (Sumber Blog KPD Grati)

Dengan rasa semangat dan tanpa merasa risih mereka berbaur dengan masyarakat sekitar untuk menghasilkan berbagai kerajinan tangan. Kisah-kisah ini tidak hanya mengungkapkan perjuangan para penyintas kusta untuk mengatasi stigmatisasi, tetapi juga menyoroti kekuatan solidaritas dan keterampilan yang mereka bangun bersama. Mereka bukan hanya melawan penyakit fisik, tetapi juga membangun komunitas yang penuh harapan dan semangat.

Apresiasi Sebagai Pendorong Semangat Memperluas Pengaruh Positif bagi Negeri

Semangat yang tidak pernah surut dan upaya yang terus digerakkan oleh Indah dalam menghadapi stigma kusta akhirnya membuahkan hasil yang manis. Pelan-pelan masyarakat sekitar mulai terinspirasi untuk membuka hati dan menerima penyintas kusta dengan tulus. Lebih dari sekadar melawan penyakit itu sendiri, Indah bersama dengan penyintas kusta juga bertekad untuk menghadapi tantangan sosial dan ekonomi yang mereka alami, melalui edukasi seputar kusta dan membekali dengan pemberdayaan diri.

Ratna Indah Kurniawati menerima Satu Indonesia Awards (Sumber Blog KPD Grati)

Hingga pada 2011, Indah meraih penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards. Penghargaan ini tidak hanya berupa penghargaan finansial sebesar Rp50 juta dari Astra. Lebih dari itu, Indah juga mendapatkan dukungan dalam bentuk pembinaan untuk kegiatan penerima apresiasi SATU Indonesia Award. Astra memberikan peralatan perawatan diri kepada anggota Komunitas Penyintas Kusta (KPD), seperti sandal, sepatu, batu apung, timba, kacamata, serta bibit mangga dan jeruk purut. Anak-anak penyintas kusta pun mendapat bantuan berupa perlengkapan sekolah yang sangat berarti.

Semangat yang membara dalam diri Indah membawa inspirasi yang tidak terbatas untuk masa depan Indonesia. Senyuman penyintas kusta adalah bukti bahwa penderita kusta pantas mendapatkan kesempatan yang setara dengan siapa pun. Kesempatan untuk menjalani hidup dengan semangat, kesempatan untuk berjuang dan mencari penghidupan yang layak, dan kesempatan untuk berinteraksi tanpa hambatan dalam masyarakat. Semoga, stigma terkait kusta di Indonesia makin memudar dan terlupakan. Dengan begitu, penyintas kusta dapat hidup dengan martabat dan tanpa diskriminasi. Semua ini merupakan langkah menuju semangat untuk hari ini dan masa depan Indonesia.

#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia #KitaSATUIndonesia

Sumber:
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Ratna_Indah_Kurniawati
https://www.satu-indonesia.com/satu/satuindonesiaawards/finalis/melawan-dusta-kusta/
https://www.youtube.com/watch?v=aCsTeKy1qKQ&t
https://www.youtube.com/watch?v=n-TZ0o-O8Ts
https://www.downtoearth.org.in/news/health/mother-teresa-the-saint-who-fought-against-stigma-of-leprosy-55416
https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/leprosy
https://www.halodoc.com/artikel/disebut-penyakit-mematikan-inilah-awal-mula-penyakit-kusta
https://www.rsabhk.co.id/artikel-kesehatan/kenali-kusta-penyakit-menular-yang-sering-disebut-penyakit-kutukan
https://www.pasuruankab.go.id/isiberita/top-2-inovasi-pelayanan-publik-pemkab-pasuruan-raih-top-99-inovasi-pelayanan-publik-nasional
https://dinkes.kulonprogokab.go.id/detil/864/hari-kusta-sedunia-tahun-2022-united-for-dignity-bersatu-untuk-martabat
https://www.youtube.com/watch?app=desktop&v=W7UCBrdUD3w&themeRefresh=1
http://kpdpkmgrati.blogspot.com/
https://id.wikipedia.org/wiki/Gerhard_Henrik_Armauer_Hansen

You may also like

0 0 vote
Rating Artikel
Subscribe
Notifikasi
guest
0 Komentar
Feedback Sebaris
Lihat semua komentar