Rasanya aku bersyukur sekali karena masih bisa bekerja sekaligus mengurus dua balita di rumah. Menjadi content writer di salah satu perusahaan Jepang dengan gaji yang lebih dari cukup, membuatku rutin menyisihkan penghasilan untuk berzakat. Terkadang muncul berbagai pertanyaan seputar zakat termasuk mengenai zakat ke keluarga. Kira-kira, boleh tidak ya menyalurkan zakat kepada keluarga? Apakah teman-teman juga pernah berpikir demikian?
Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 215, Allah SWT menegaskan kepada umatnya bahwa keluarga dan kerabat terdekat merupakan orang-orang yang memiliki hak atas bantuan kita.
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”(QS. Al-Baqarah: 215)
Lantas, apakah mereka berhak juga untuk menerima zakat dari kita? Jawabannya, belum tentu! Nah, melalui artikel ini, aku akan berbagi sedikit informasi mengenai hukum menyalurkan zakat ke keluarga. Baca hingga selesai, ya!
Perjalanan Mencari Kejelasan
Bagaimana hukum menyalurkan zakat ke keluarga? Apakah hal ini diperbolehkan?
Kebetulan, di keluarga besarku, ada beberapa sanak saudara berada dalam situasi ekonomi yang sulit. Ketika aku mulai merencanakan untuk menyalurkan zakat, muncul dorongan untuk menolong mereka. Bagaimanapun, keluarga adalah bagian dari diriku, dan siapa lagi yang lebih mengenal kondisi mereka jika bukan aku? Namun, aku juga tahu bahwa zakat memiliki aturan yang ketat dalam agama. Karena itu, aku ingin memastikan apakah hal ini sesuai dengan tuntunan syariat atau tidak.
Aku mencari jawaban dari berbagai sumber, termasuk teman-teman yang mendalami agama dan sumber online. Sebelum membahas hukum zakat kepada keluarga, kita juga perlu memahami tujuan Allah SWT mewajibkan zakat.
Zakat ditujukan untuk menumbuhkan akhlak mulia, rasa kemanusiaan, menghilangkan sifat kikir, serta membersihkan harta. Allah SWT telah berjanji dalam Al-Qur’an bahwa jika kita mengeluarkan zakat, maka Allah SWT pasti akan menambah nikmat-Nya. Jika kita mengabaikannya maka harus siap menerima azab-Nya.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim: 7)
Pemahaman Tentang Asnaf Zakat
Dari hasil pencarianku, aku belajar bahwa zakat memiliki delapan golongan penerima yang disebut asnaf. Mereka di antaranya adalah fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orang yang berhutang, orang yang berjuang di jalan Allah SWT, dan musafir yang kehabisan bekal. Karena itu, meskipun keluarga dekat termasuk dalam perhatian kita, tidak semua anggota keluarga boleh menerima zakat.
Keluarga yang Tidak Boleh Menerima Zakat
Mengutip buku Panduan Zakat yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Dompet Dhuafa, terdapat pandangan agama soal menyalurkan zakat ke keluarga atau kerabat. Zakat boleh diberikan kepada keluarga atau kerabat yang benar-benar miskin dan termasuk dalam 8 golongan asnaf. Namun, zakat tidak boleh diberikan kepada orang tua, kakek-nenek, anak, atau cucu. Jika zakat diberikan kepada keluarga yang tidak memenuhi syarat sebagai mustahik, kewajiban zakat belum terpenuhi.
Orang yang berhak menerima zakat adalah mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, misalnya berpenghasilan Rp800 ribu tetapi kebutuhan pokoknya Rp1 juta, dan tidak ada yang menanggung nafkah hidupnya. Jika nafkahnya ditanggung penuh, meskipun penghasilannya kurang, ia tidak berhak menerima zakat.
Berbeda dengan zakat, sedekah boleh diberikan kepada siapa pun, termasuk keluarga dan kerabat. Sedekah lebih utama jika diberikan kepada yang benar-benar membutuhkan dan kepada orang terdekat. Waktu tertentu juga dapat meningkatkan keutamaan sedekah. Jika ada kerabat yang memerlukan, kita dianjurkan untuk menjadi yang pertama membantu.
Pandangan selanjutnya menyatakan bahwa seseorang wajib menafkahi keluarga atau kerabat di bawah tanggung jawabnya. Misalnya, ayah wajib menafkahi anak, suami menafkahi istri. Kewajiban ini juga berlaku bagi kerabat yang dalam kesulitan dan tidak mampu, jika tidak ada orang terdekat lain yang menanggung nafkahnya.
Dengan demikian, hukum menyalurkan zakat ke keluarga diperbolehkan jika sesuai syariat dan perhitungannya benar. Sedekah juga bisa diberikan kepada keluarga dan kita wajib menafkahi kerabat yang membutuhkan.
Dengan ini, aku merasa lega, karena aku masih bisa membantu keluarga yang benar-benar membutuhkan, tanpa melanggar aturan zakat yang telah ditentukan. Namun, di satu sisi, aku juga belajar untuk memisahkan antara zakat dan sedekah. Jika ada anggota keluarga yang membutuhkan bantuan, tetapi tidak termasuk dalam asnaf zakat, aku tetap bisa membantu mereka melalui sedekah atau bentuk pemberian lainnya yang tidak terikat pada aturan ketat seperti zakat.
Kejelasan dan Keberkahan Zakat
Perjalanan mencari kejelasan ini tidak hanya membuka mataku tentang hukum zakat, tetapi juga membawa keberkahan tersendiri. Aku mulai menyadari bahwa menunaikan zakat bukan sekadar memberikan harta, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual yang mendalam, di mana aku belajar berbagi dengan tepat dan ikhlas. Kini, setiap kali aku menyisihkan sebagian rezeki untuk zakat, aku melakukannya dengan rasa lega dan bahagia. Hal ini karena aku tahu bahwa aku mengikuti aturan yang benar dan berharap dapat memperoleh ridha Allah melalui tindakan tersebut.
Bagiku, memahami hukum menyalurkan zakat ke keluarga mengajarkan betapa pentingnya menyeimbangkan antara tanggung jawab sosial dan ibadah. Zakat bukan hanya soal membantu yang membutuhkan, tetapi juga soal memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.