Ketika Aku Jauh Dari Tuhan

oleh Ella Fitria
Gambar diambil dari pixa

Sore itu, semburat jingga mendarat perlahan pada tubuh mungilku. Tempias angin menyampaikan janji kehidupan yang pernah terlewat. Dadaku sesak, nafasku tak beraturan, tubuhku panas dingin, kala janji kehidupan itu lewat, pikiranku berantakan dibuat olehnya. Ketika yakin, percaya dan cinta kasih sayang yang aku beri justru mendapat balasan yang ah membayangkan saja sudah sakit hati apalagi merasakannya seperti ini. Aku duduk di pinggir pantai, membiarkan tempias angin yang bercampur ombak mendekapku, sesekali butiran pasir menggoda telapak kakiku untuk menjamahnya. Berjalan kecil merasakan apa pun yang ada di dalam tubuhku. Beruntung aku memiliki orang-orang hebat di sekelilingku. Dalam lamunku, aku dikagetkan dengan ombak yang membasahi tubuhku.”Wussshhh, suara ombak yang menyapa heningku” mukaku pun basah kuyup. Akhirnya aku memutuskan menepi, menjauh dari ombak lalu mencari handphone di dalam tas ranselku, ku tekan log panggilan keluar. Ah ya, tidak susah mencari nomor telponnya karena nomor tersebut sering sekali menghubungiku. Daru adalah nama yang tertera di layar panggilan. Aku mencoba menghubunginya. Tut… Tut… Begitu handphoneku berbunyi, tidak lama kemudian terdengar salam di seberang sana;
Daru : Assalamualikum, hallo. Ada apa nduk?


Aku : Eh, Waalaikumsalam… Nggak ada apa-apa sih, aku lagi di pantai nih. Kamu lagi di mana? Bisa nyusul ke pantai nggak? (dalam hati aku sangat yakin, kalau dia akan mengiyakan dan menyusulku di pantai. Karena sejak lama aku tahu, dia menyimpan rasa padaku namun aku enggan meladeni lebih dari sekedar teman)

Dan benar dia menjawab dengan semangat, kurang lebih begini: Bisaaaa. Bisa banget, aku lagi libur kerja nih. Kenapa juga kamu nggak bilang dari tadi sih?

Aku : Tadi aku pengin sendiri, eh giliran sendiri pengin ada temennya… (sahutku mencari alasan). Oya bawain jaket dong, atau baju hemmu ya. Bajuku basa kena ombak.

Daru : Ha ha ha… Terdengar gelak tawa di seberang sana. Yakali udah tau nggak bawa baju ganti, masih aja mainan air. Dasar bocil. Iya oke deh aku bawain bajuku, jangan ke mana-mana nanti kamu diculik lho… (ledek Daru padaku)

Lalu aku buru-buru matikan panggilan telpon. Sembari menunggu dia datang, aku menulis apapun yang bisa aku tulis di memo handphone menuangkan rasa, misalnya. Ya masih seputar rasa kecewa, marah, sakit, dan nggak percaya.

Setengah jam kemudian Daru datang dan tiba-tiba aku langsung menangis tersendu. Entah apa yang aku rasa, aku hanya butuh teman untuk berbagi rasaku, mendengarkan keluh kesah dan menganggap bahwa aku tetap dianggap ‘ada’ oleh orang lain.
Daru adalah sosok teman yang sangat baik, terlepas dari rasa sukanya terhadapku, dia memang baik. Tempat curhat yang sering menjadi sasaran empukku ketika aku mengalami situasi seperti sekarang. Tapi dia nggak pernah bosan denganku, dengan tangisanku, keluh kesahku. Walaupun demikian, aku nggak bisa memberi rasaku padanya. Aku nggak bisa membohongi rasaku, memaksa rasaku apalagi memaksa untuk suka padanya. Aku bukan tipe cewek seperti itu, aku mencoba selalu jujur kepada diriku sendiri.
Akhirnya berkat ketulusan Daru, aku mampu bangkit menjalani hari-hari seperti biasa. Berangkat kuliah dan aktif diberbagai kegiatan. Daru seperti nafas segar buatku karena hampir 3 bulan kuliah dan kehidupanku berantakan akibat rasaku yang belum bisa menerima. Namun dari Daru aku belajar ikhlas, belajar menerima semuanya tanpa perlawaan, belajar merelakan, dan nggak pernah sekalipun aku lawan rasa sakit, marah dan benci ini.
Saat itu hariku berganti menjadi sebuah penerimaan terbaik. Saat aku sudah bangkit, Tuhan memberiku pelajaran baru yang nggak kalah hebatnya. Bahagia dan bangga sekali ketika bisa merasakan indahnya memaafkan, menerima dan bisa tersenyum. Tapi nggak lama tiba-tiba aku mendapat kabar kalau Daru dalam keadaan kritis akibat kecelakaan beberapa jam yang lalu. Ya Tuhan….. Ketika semangatku meletup-letup, ketika rasaku sedikit lagi bisa ku beri untuknya, tetapi Daru sedang berada diantara hidup dan mati. Tanpa pikir panjang aku minta izin kepada dosenku dengan alasan ada keperluan yang nggak bisa ditinggalkan, karena saat itu kuliah sedang berlangsung.
Aku menuju ke rumah sakit di mana Daru dirawat. Sekitar 20 menit perjalanan, sampailah di tempat parkir rumah sakit. Aku berlari menuju ruang ICU sekencang yang aku bisa. Daru kamu harus kuat, kamu orang yang balikin semangatku hingga detik ini. Kamu kuat kamu kuat, dalam hati ku panjatkan doa untuknya. Sekitar 5 menit berlarian ngos-ngosan aku sampai di ruang ICU tepat di samping Daru, aku tak sadar jika sudah meneteskan air mata. Aku hanya berdiri mematung di sampingnya, aku ingin membangunkannya layaknya adegan di dalam sinetron. Tapi aku tak kuasa, lemas, semua semangatku hilang melihat banyak alat medis yang terpasang di tubuhnya. Aku merasa tak berguna ketika ia sedang kritis aku nggak bisa apa-apa. Tapi dulu, ketika aku masuk rumah sakit, ketika aku butuh sesorang, ketika aku nangis sampai berhari-hari, Daru selalu ada. Daru nggak pernah biarin aku ngerasa sendiri.
Aku memutuskan pulang ke kos-an karena sudah jam 20.00 WIB, sementara kondisi Daru belum membaik. Esok pagi aku akan kembali kesini, kamu segera sadar yaa… Kamu kuat, harus kuat. Kita makan bareng lagi ya, bisikku lembut sambil meneteskan air mata.
Sesampainya di kos-an, aku buru-buru mandi berharap lelah dan cemas ini bisa berkurang. Sudah tak sabar menanti kabar kalau Daru segera siuman. Aku yakin sekali, besok pagi aku akan bawa makanan kesukaannya, menyuapi sambil ngobrol satu dua kata. Sudah nggak sabar.
Lamunanku terpecah ketika handphoneku berdering. Yes, kakak ipar Daru telpon (dalam hati, aku yakin akan mendapat kabar baik). Tapi dugaanku salah, seketika itu kakiku ngilu, darahku panas, mataku ingin sekali terpejam. Ya Tuhan, apalagi ini. Kenangan-kenangan Daru sangat membekas dalam hidupku. Tapi dia pergi sebegitu cepat. Daru meninggal membawa janji kehidupan yang pernah dia buat.
Pasca meninggalnya Daru, aku seperti kehilangan kendali. Dua kali aku ditinggal pergi oleh orang-orang yang bisa membakar semangatku. Ya! Sekarang aku harus kembali berserah. Mungkin karena aku jauh dari Tuhan, jauh dari doa-doa. Hari ini aku memulai hari baru, amat baru. Berteman dengan penerimaan yang tulus serta pemahaman yang baik aku mencoba bangkit sekali lagi. Berharap masih ada sisa tenaga untuk memulai hidup, menatap masa depan yang entah aku bisa merahinya atau tidak.
Ulu hatiku ngilu saat aku mencoba mengingat semua yang Tuhan beri. Aku lewati hari demi hari sembari menunggu janji dan keadilan Tuhan. Hingga saati ini, aku bersyukur bisa melewati masa-masa sulit. Aku memutuskan bahagia, memperbaiki apapun yang bisa aku perbaiki.
Setelah setahun berlalu, Algi kembali datang dalam hidupku. Ia satu-satunya orang yang berkhianat atas janji kehidupan yang ia buat. Awalnya aku ragu untuk kembali bertemu. Karena rasa sakit, marah, kecewa belum bisa terlepas dalam diriku. Aku memberanikan diri menerima tawaran Algi untuk bertemu, kali pertama bertemu setelah kejadian hebat setahun yang lalu ia meninggalkanku. Dalam pertemuan singkat itu, Algi memohon maaf setulus yang bisa ia lakukan, aku lebih banyak diam membatu. Memilih mendengarkan dia menyesali semuanya yang sudah terjadi.
Dadaku kembali sesak, aku ingin menumpahkan rasa kesalku padanya. Rasaku terhadap Algi tidak berkurang barang sejengkalpun, permohonan maafnya aku terima. Lalu Algi mengutarakan ingin kembali belajar bersamaku, ingin kembali menemukan kenyamanan yang dulu pernah ia dapatkan ketika memiliki komitmen denganku. Hingga akhirnya aku berani membuka mulutku untuk menjawab semua permintaan Algi.
Buktikan jika memang kamu ingin mendapatkan nyamanmu kembali, silahkan datang temui orang tuaku, kataku bernada ketus. Tepat dihari ulang tahunku Algi datang kerumahku. Benar saja, ia menemui ayah ibuku dan meminta restu untuk memiliki hubungan yang serius denganku. Kedua orang tuaku sepakat memberi restu karena kedua orang tuaku sangat faham rasa yang dimiliki putrinya untuk laki-laki bernama Algi, seberapa banyak dan sering Algi menyakitiku aku tak bisa berpaling darinya. Mungkin itu kelemahan wanita.
Betapa bahagia karena Algi akan segera membawa keluarganya untuk silaturahmi ke rumahku. Itu tandanya dia memang serius, pikirku meyakinkan semua perkataan Algi.
Hari demi hari kita lewati dengan rasa bahagia, bahwa aku meyakini setelah tidak berkomunikasi selama satu tahun. Kini dia hadir dengan janji kehidupan yang pasti. Kita menjalani komitmen ini layaknya dua orang yang sedang mencari namun tiba-tiba kita sudah saling menemukan, bahagia.
Kebetulan Algi dan aku tinggal di kota yang berbeda. Kebanyakan orang menyebutnya LDR, sesekali kita video call untuk melepas rasa rindu, sesekali kita telpon untuk sekedar membicarakan hal-hal yang tidak terlalu penting. Saat itu hariku sungguh indah sekali, aku pikir ini keadilan Tuhan. Tuhan akhirnya menepati janji-janjinya. 3 bulan aku merasa menjadi orang yang paling bahagia, merasa beruntung sekali memiliki pengalaman yang pahit namun hari ini diberi pembuktian oleh Tuhan.  
Tetapi rasa bahagia itu tidak berlangsung lama, krikil-krikil permasalahan mulai muncul kembali. Pada dasarnya aku belum sanggup menerima masa lalu Algi dengan tulus. Saat itu, mengorek dan mencari kesalahan Algi yang sudah terlewat menjadi hobi baruku. Aku selalu menyalahkannya, kenapa? Karena benar, dia salah. Tapi apakah orang yang bersalah tidak bisa memperbaiki kesalahannya? Apakah orang yang bersalah tidak bisa dimaafkan? Setiap malam aku berteman dengan kalimat tersebut. Ya Tuhan, kenapa semuanya jadi begini. Aku lelah, aku capek atas rasa yang engkau sematkan dalam qalbuku.
Rupanya Algi membohongiku untuk yang kesekian kalinya, ia tak pernah mengakui jika ia masih menjalin komunikasi dan sesekali bertemu dengan wanita yang dulu menyebabkan dia lari dari komitmen. Mereka menjalani hubungan satu tahun dengan amat bahagia. Namun tiba-tiba entah angin apa Algi memutuskan pulang padaku, memutuskan hubungannya dengan si wanita itu. Wanita itu nggak bisa menerima keputusan sepihak dari Algi. Wanita mana yang tidak jengkel dan marah jika orang yang dicintai dan disayangi memilih bersama wanita lain?
Mulai titik ini, aku kembali memutuskan mengakhiri hubungan dengan Algi. Melupakan janji kehidupan yang pernah dia ucapkan di depan kedua orang tuaku. Sakit, sungguh teramat sakit. Bagaimana aku bisa mempercayai orang yang sudah memberiku ratusan kebohongan?
Aku memutuskan pergi dengan membawa rasa yang sama ketika Algi dan alm. Daru pergi. Algi masih belum terima atas keputusanku, ia selalu mengelak tentang hubungannya dengan wanita itu. Tetapi aku nggak mau untuk kesekian kalinya menyerahkan hatiku untuk disakiti. Entah aku harus percaya dengan siapa, entah aku harus memulai dari mana. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku terbaring lemah disalah satu rumah sakit. Aku hanya bisa berdoa semoga masih ada laki-laki yang bisa tulus mencintai dan menghargai perasaan perempuan.
Ya Tuhan, kali ini aku mencoba mendekat padaMu, membaca ayat-ayatmu hingga air mata menetes tak terasa. Aku lalai denganMu, aku kembali terlepas dari kendaliMu. Aku malu, sangat malu. Berdoa pun rasanya sudah tidak pantas lagi. Aku selalu kembali pada Tuhanku ketika aku lemah tak berdaya. Aku malu padaMu Tuhan…
(cerpen pertama yang aku buat sebagai kado terindah untuk KOBAR, tepat 1 tahun KOBAR menginspirasi muda mudi Banjarnegara untuk selalu giat membaca)
Ella Fitria

You may also like

0 0 vote
Rating Artikel
Subscribe
Notifikasi
guest
0 Komentar
Feedback Sebaris
Lihat semua komentar