Kami melangkahkan kaki begitu cepat saat kereta yang akan kami tumpangi bersiap meninggalkan stasiun keberangkatan. Alhamdulillah, kami bisa duduk dengan tenang sebelum kereta api melaju pelan. Siang itu aku bersama BB Idah dan BB Rois hendak menuju kota Pekalongan, bukan untuk menghadiri event, pun bukan untuk menyelesaikan urusan yang urgent. Pokoknya ibarat nggak ada hujan nggak ada angin tiba-tiba banjir, eh maksudnya tiba-tiba kami ingin meng-explore kota Pekalongan. Sebetulnya rencana awal kami ingin meng-explore kota Cirebon, namun sayangnya kami hanya memiliki waktu dua malam, sudah pasti kurang puas untuk meng-explore kota Cirebon dong ya? Maklumlah karena kami kudubolos kerja dulu. Hhh
Perjalanan dari stasiun Purwokerto ke stasiun Pekalongan membutuhkan waktu sekitar 4 jam 30 menit. Memang di dalam kereta nggak banyak hal yang bisa kita lakukan, tapi buatku duduk diam, mendengarkan lagu kesayangan, dan melemparkan pandang ke jendela kereta adalah kenyamanan yang jarang ku rasakan. Apalagi sambil menyantap segelas pop mie, duh ya ampun. Soalnya naik kereta banyak banget kenangannya, kadang suka senyum-senyum sendiri ingat isi pesan singkatku yang mengabarkan kalau sebentar lagi tiba di stasiun tujuan, dan itu tandanya kamu kudu sudah siap menjemput dong. Ah sudah ah, ngapain malah jadi bahas beginian.
Sesampainya di stasiun Pekalongan, kami mencari makan siang sebelum menuju ke hotel. Kesan pertama yang dirasakan saat menginjakkan kaki di kota Pekalongan adalah P-A-N-A-S, sungguh. Apakah karena kami anak nggunung yang terbiasa dengan hawa adem? Entahlah. Selesai makan siang, kami bergegas check in dan bersiap menuju ke Hutan Mangrove Pekalongan.
Perjalanan ke Hutan Mangrove Pekalongan
Kami sudah siap di lobby hotel menunggu grab car yang akan mengantarkan kami ke Hutan Mangrove Pekalongan, sayangnya sudah tiga kali nyantol di aplikasi tapi kok driver menolak tanpa alasan yang jelas, buru-buru cek maps karena takut salah titik, ternyata nggak salah dong! Terus kami mencoba order sekali lagi dan akhirnya ada driver yang mau. Begitu masuk ke mobil, ternyata drivernya langsung bilang.
‘mau ke hutan mangrove? Saya nggak bisa mengantar sampai ke hutan mangrove, mbak! Kan di sana lagi banjir rob. Mobil nggak bisa lewat sana, terpaksa nanti tak turunkan di pinggir jalan, ya!’ sahutnya ketus.
Aku dan BB Idah saling pandang, kaget lah pasti. Ketemu driver yang ketusnya masya ampun dan berasa nggak bertanggungjawab dengan penumpang, mbok bisa bilang dengan kata yang lebih santai dan sopan. Mungkin bakal lebih enak didengar kalau ngomongnya begini
‘mbak, maaf ya karena jalur ke Hutan Mangrove sedang terjadi banjir rob, nanti bakal saya antar menyesuaikan kondisi di sana ya? Atau mbaknya bisa ganti destinasi dengan bersantai di Pantai Sari Pekalongan, karena banjir robnya di rute Pantai Sari-nya.’
Nah kan lebih enak didengar ya? Iya laaah! Apalagi pas BB Rois menanyakan rekomendasi tempat wisata di kota Pekalongan ke driver-nya, beeeh ketusnya gila.
Singkat cerita kami diturunkan di jalan Pantai Sari, padahal sih jalanan masih aman dari banjir rob. Tapi ya sudah, karena saking muak dan enegnya sama si driver auto deh kami turun dari mobil. Untung saja, kita bisa menikmati senja di pinggir pantai Sari Pekalongan. Serius, seumur-umur baru pernah mengunjungi pantai di pinggir jalan begini, di seberang sana juga terdapat pemukiman warga. Terus tiba-tiba jadi membayangkan bagaimana senangnya punya rumah yang menghadap ke pantai begini, begitu buka pintu rumah auto kelihatan pantainya dong. Tapi ngeri juga kalau pas banjir rob atau amit-amitnya tsunami, wkwkwk
Tiba di Pantai Sari Pekalongan
Pantai Sari Pekalongan
Jujur, kami kurang mencari informasi tentang Hutan Mangrove Pekalongan, memang penting banget untuk riset tempat-tempat wisata yang bakal dikunjungi supaya nggak ada penyesalan seperti yang kami rasakan. Nah sialnya pas kami ke Pekalongan bulan September 2019, ternyata sedang terjadi banjir rob di daerah jalan Pantai Sari. Tapi ada hikmahnya juga sih ke Pekalongan pas musim banjir rob gini, jadi bisa melihat dan merasakan langsung suasananya karena selama ini cuma melihat banjir rob di televisi.
Setahuku, Pantai Sari ini nggak ada loket tiketnya. Pengunjung bebas menikmati pantai karena letak pantainya benar-benar di pinggir jalan dan pemukiman warga. Sepanjang jalan banyak warung-warung yang menyediakan aneka ragam jajan seperti bakso bakar, mie ayam, sosis, es degan, dll. Kami pun menepi ke warung yang agak sepi untuk menikmati deburan ombak, merasakan hempasan angin sepoi, sembari memanjakan mata melihat keagungan-Nya.
Sunset Pantai Sari Pekalongan
Ternyata makin sore, sepanjang jalan Pantai Sari dipenuhi oleh muda mudi yang sekadar duduk santai menikmati senja. Lalu lalang jalan Pantai Sari juga makin padat karena kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat terparkir semrawut. Aku duduk di bebatuan sambil mengamati dua anak kecil yang sedang asyik berenang dan bermain pasir. Tawa mereka pecah tiap kali ombak menyapa tubuh mungilnya. Kedua anak ini diawasi oleh pria paru baya yang mungkin ayahnya, sesekali si ayah berteriak untuk menjauh dari air pantai, tetapi kedua anak ini malah saling dorong ke arah air pantai.
Menikmati Senja Pantai Sari Pekalongan
Senyumku mengembang saat tanpa sengaja melempar pandangan ke langit nun jauh di sana, rona keemasan makin memancar menggantikan langit yang putih kebiruan. Orang-orang yang berlalu lalang seketika berubah menjadi siluet, kesibukan jalan Pantai Sari terasa syahdu dengan balutan cahaya keemasan dan pantulan cahaya dari genangan air akibat banjir rob.
Bakso Bakar Pantai Sari
Sunset Pantai Sari Pekalongan
Sesekali aku berdiri, berpindah posisi untuk mengambil gambar senja di Pantai Sari kemudian kembali duduk sembari menikmati setusuk bakso bakar. Hal yang nggak pernah kulewatkan saat menikmati senja adalah ritual merapal doa. Buatku, melambungkan harapan di waktu senja adalah sebuah keromantisan aku dengan-Nya.
Sunset Pantai Sari Pekalongan
Oya, katanya, kita bisa belajar dari sepotong senja. Belajar untuk menerima hal indah yang berlalu begitu mudah, belajar untuk memahami bahwa setiap hal yang kita sukai nggak selamanya abadi, pun belajar dari cahaya temaramnya yang mampu menutupi raut wajah kesediahan bagi orang-orang yang lelah dalam menjalani kehidupan. Bagiku, senja adalah hal magis yang mewah untuk dinikmati, perubahan dari siang dan malam ataupun dari malam ke siang patut untuk kita syukuri.
Lokasi Pantai Sari Pekalongan
Sebetulnya cukup mudah menemukan lokasi Pantai Sari Pekalongan, kalau di tempuh dari stasiun Pekalongan kurang lebih membutuhkan waktu sekitar 18 menit. Nggak jauh kok karena jaraknya hanya 6,7 KM, bisa diakses dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Tapi kalau mau ke Pantai Sari Pekalongan kudu cari informasi dulu ya, biar nggak kecelik sudah sampai sana malah ada banjir rob. Hhhh
Btw, fasilitas di Pantai Sari minim banget. Ya mungkin karena pantai ini nggak diperuntukkan sebagai tujuan wisata ya? Soalnya di sana, aku nggak melihat toilet, mushala, atau tempat sampah. Mungkin ada sih tapi akunya yang kurang ngeh karena memang seberang jalan ini langsung pemukiman warga. untuk HTMnya gratis ya, paling bayar parkir aja kalau ke sana membawa kendaraan sendiri.
Banjir Rob Jl. Pantai Sari
Setelah langit sempurna tertutup oleh cahaya senja, kami kembali memesan grab car dan menuju ke hotel untuk mandi, siap-siap makan malam sekaligus bertemu dengan teman-teman blogger Pekalongan.
Duh ya, rupanya semangatku terasa terbakar lagi nih saat menuliskan senja di Pantai Sari Pekalongan. Semoga pandemi Covid-19 segera berakhir ya, biar bisa mantai-mantai lagi 🙁