Selama pandemi ini, mungkin bukan hanya aku dan suamiku saja yang berjuang mati-matian untuk tetap survive. Menghadapi berbagai momen yang tak terduga memang harus siap mental dan finansial. Bukan hanya momen yang manis saja, melainkan momen pahit pun turut kami rasakan.
Kali ini aku akan berbagi sedikit cerita mengenai kehidupanku sejak beberapa bulan yang lalu. Tanpa sadar, ternyata pandemi membuat aku belajar banyak hal terutama dalam mengambil keputusan besar. Bukan hanya itu, aku juga akan sedikit berbagi cerita saat berjuang melawan virus Covid-19 yang bersarang di tubuh kami.
Semoga sekelumit cerita ini bisa menjadi pengingat untuk kami di kemudian hari. Bahwa kami percaya dengan janji Tuhan. Selain itu, kami juga meyakini adanya campur tangan Tuhan di setiap keputusan yang kami ambil.
Memutuskan Resign dan Memberanikan Diri Mengikuti Kata Hati
Aku masih ingat betul, siang itu setelah membagi rapor anak-anak via daring, aku memantapkan hati menghadap kepala sekolah. Ruangan yang biasa kami gunakan untuk rapat ini seolah mendadak mencekam. Aku kembali meyakinkan diriku, menarik napas di balik masker yang aku kenakan dan aku mulai menyusun kalimat.
Ya, mengajukan resign dari profesi guru honorer di salah satu sekolah swasta merupakan keputusan besar yang aku ambil beberapa bulan lalu. Proses ini tentu nggak mudah. Apalagi di saat pandemi ini, bertahan mencukupi kebutuhan dan survive bukanlah perkara mudah.
Sudah empat tahun aku menyerahkan masa depanku dan mengabdikan diri menjadi guru honorer. Memutuskan resign memang bukan tanpa alasan. Melainkan, di lubuk hati sana ada ambisi yang harus aku gapai dan ada mimpi yang harus aku lunasi.
Awalnya aku sempat khawatir. Di saat pandemi yang nggak menentu ini, apakah kami akan baik-baik saja? Sedangkan aku malah memutuskan resign dari pekerjaanku. Beruntungnya, aku memiliki suami yang selalu men-support pekerjaan digital seperti ngeblog dan mendesain. Hal ini memberiku pandangan bahwa “Semua akan baik-baik saja. Rejeki pasti ke mana-mana menuju tujuannya.”
Jeda Ngeblog Sejenak karena Berjuang Melawan Covid-19
Di sela-sela waktu ngeblog, pada awal Juli, kami merasa kesehatan kami mulai menurun. Sampai akhirnya nggak berdaya untuk melakukan apa-apa. Sekadar membuka laptop dan mengecek pekerjaan saja nggak mampu. Awalnya kami nggak menyadari jika kami sudah terpapar virus Covid-19. Toh kami nggak merasakan gejala berat dari virus ini, kecuali suami yang sering berdehem. Pikirku karena dia kelelahan sepulang dinas dari Kalimantan Barat selama sepuluh hari.
Rasa khawatir terpapar virus Covid-19 memang ada, tetapi aku mencoba kembali tenang. Lagi pula selama suami dinas, mulai dari hotel dan transportasi yang digunakan di sana Insya Allah aman serta terjaga karena dia harus melampirkan hasil PCR negatif secara berkala.
Sayangnya, kekhawatiran itu terjadi saat suami tiba di rumah. Suara rekan kerjanya terdengar samar-samar dari balik telepon. Beliau mengabarkan hasil swab PCR-nya positif Covid-19. Rasanya bagaikan disambar petir di siang bolong. Aku menghela napas pelan, suamiku terus menenangkan sembari kami menuju laboratorium untuk swab PCR.
Hasil Swab PCR Positif Suami |
Tepat seperti dugaanku, hasil swab PCR kami keluar sore harinya dengan hasil positif Covid-19. Sungguh, sejak detik itu segalanya berubah menjadi kelam. Setiap saat kekhawatiran dan ketakutan itu muncul.
Ya Tuhan, apakah kami akan bertahan dalam ketidakpastian? Akankah semua baik-baik saja?
Sejak detik itu, kami saling jaga, saling support, dan saling meyakinkan satu sama lain. Jika aku tertidur, suami bertugas mengecek saturasi, suhu badan, dan memastikan kondisiku baik-baik saja. Pun sebaliknya, jika suami tertidur, maka giliran aku yang mengeceknya. Rasa takut jika kondisi makin drop kian menghantui, apalagi setiap hari kami mendengar kabar duka dari pengeras suara masjid.
Nggak hanya sekali aku meneteskan air mata saat memandang suamiku tertidur. Terlebih saat aku mulai drop di hari ke empat hingga ke tujuh. Suamiku akhirnya drop juga karena sepanjang malam menjagaku. Dulu, bagi kami menjalani empat belas hari isolasi mandiri rasanya seperti penentuan antara hidup dan mati.
Forever is a long time, but I keep my words that I save to you. Together we can go far as long as I’m with you. Bisik lirih suamiku memetik lirik lagu favorit kami, ketika aku sedang merasakan ngilu di sekujur tubuh.
Apa yang Harus Dilakukan Ketika Positif Covid-19?
Saat kami dinyatakan positif Covid-19, kami bingung setengah mati apa yang harus dilakukan. Terlebih, di sini kami sebagai pendatang baru. Dengan menahan rasa campur aduk, kami mencari info sana sini melalui smartphone. Sampai akhirnya kami menemukan tahapan pelaporan pasien Covid-19 dengan gejala ringan.
Sebenarnya, kunci kami bisa menang melawan Covid-19 adalah tetap tenang dan perbanyak informasi yang valid. Jangan mudah percaya dengan informasi yang nggak jelas sumbernya. Selain itu, berikut ini hal yang harus disiapkan ketika dinyatakan positif Covid-19.
Melapor ke RT dan SATGAS Covid-19 Setempat
Jujur, sebelum melapor ke RT setempat, rasanya agak takut dikucilkan karena kami pendatang. Namun, demi keamanan dan kenyamanan semua pihak, kami memberanikan diri melapor melalui chat whatsapp. Alhamdulillah, tanggapannya baik sekali karena memang positif Covid-19 bukan aib yang harus ditutupi.
Selanjutnya sesuai arahan pihak RT, kami melapor ke SATGAS Covid-19. Sayangnya saat kami melapor ke SATGAS Covid-19 pelayanannya agak lambat karena memang banyaknya pasien yang terkonfirmasi.
Alhamdulillah esok harinya, kami mendapatkan pemeriksaan dari pihak Puskesmas. Selain dicek suhu badan, tekanan darah, saturasi oksigen, kami juga diresepkan obat dan vitamin untuk tujuh hari. Dokter memberikan edukasi dan menyarankan kami untuk isolasi mandiri.
Mulai Pantau Gejala yang Muncul
Sejak dinyatakan positif Covid-19, kami rutin mencatat perkembangan kondisi tubuh setiap harinya. Mulai dari mencatat saturasi oksigen dalam darah, gejala apa saja yang kami rasakan, hingga menu makanan dan obat yang kami konsumsi. Hal ini akan membantu jika kami drop dan harus dirawat di Rumah Sakit. Dokter atau perawat bisa membaca jurnal yang kami buat tanpa kami bercerita.
Jurnal Isoman yang aku upload di IG Story |
Jurnal Isoman dan surat keterangan sembuh dari puskesmas |
Aku dan suami sudah sepakat, jika saturasi oksigen dalam darah kami di bawah 95% terus menerus, kami akan meminta bantuan ambulance. Ya meski saat itu, ambulance dan Rumah Sakit mengalami overlaod, tapi nggak ada salahnya menyiapkan kemungkinan terburuknya.
Bersihkan Permukaan yang Sering Disentuh secara Berkala
Sediakan Oximeter, Termometer, dan Vitamin
Salah satu alat yang nggak boleh disepelekan saat isolasi mandiri adalah oximeter. Kebetulan, suami membelikan smartwatch yang memiliki fitur oximeter. Selain itu, smartwatch ini memiliki fitur pemantauan detak jantung dan monitoring ketika tidur. Kalian bisa membeli smartwatch Mi Smart Band 6 di Shopee.
Mi Smart Band 6 untuk Pemantauan Saturasi Oksigen dan Detak Jantung |
Nah, jika nggak memiliki smartwatch dengan fitur oximeter, teman-teman bisa membeli alat pulse oximeter. Oximeter (pulse oximeter) merupakan pengukur kadar oksigen dalam darah. Normal kadar oksigen dalam darah kita adalah 95% ke atas. Jika oximeter menunjukkan angka di bawah 95%, ada baiknya kita waspada. Selain itu, kita juga harus menyiapkan termometer untuk memantau suhu tubuh. Jangan lupa sediakan vitamin C atau vitamin D. Oh iya jika kalian membutuhkan vitamin atau alat kesehatan, bisa manfaatkan promo Shopee dari Rumah.
Beli kebutuhan di Shopee tetap aman dari rumah |
Konsumsi Makanan yang Bergizi
Sepertinya poin ini klise banget, ya? Namun, memang nggak boleh disepelekan. Usahakan jika sedang isolasi mandiri kurang-kurangi makanan junk food, perbanyak makan buah dan sayur. Selain itu, pastikan cairan tubuh kita tercukupi dengan minum air putih minimal 2 liter/ hari. Apalagi, selama isolasi mandiri tubuh rasanya lemas, lesu, dan nggak semangat. Maka wajib banget dopping asupan gizi dan vitamin.