“Dari data kami, penggunaan single use plastic di Jabodetabek hampir 200 juta pcs setiap harinya, itu hanya dari satu platform layanan makanan online saja, belum termasuk sampah plastik dari warung pinggir jalan dan sumber lainnya.” Ungkap Rengkuh Banyu Mahandaru.
Angka yang mengejutkan itu seakan menggantung di udara, menciptakan bayang-bayang kecemasan dan keresahan terkait pencemaran lingkungan yang makin terasa. Namun, bagi pemuda kelahiran Garut ini, kegelisahan tersebut bukanlah akhir dari cerita. Baginya, ini adalah panggilan hati untuk bergerak agar bumi tidak lenyap dalam lautan sampah.
Pemuda itu memutuskan untuk bertindak, mencari solusi hingga berhasil menggagas rantai pasokan pelepah pinang. Melalui pelepah pinang, muncul harapan besar untuk kehidupan yang berkelanjutan. Pasalnya, pelepah pinang bisa menjadi alternatif kemasan yang ramah lingkungan, menggantikan kemasan plastik makanan sekali pakai yang jumlahnya kini terus membumbung tinggi setiap hari.
Pelepah Pinang sebagai Alternatif Kemasan Ramah Lingkungan
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang seolah tidak pernah berhenti, angka-angka mengejutkan menimbulkan kekhawatiran yang mendalam. Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam, ternyata menempati posisi kedua sebagai penghasil sampah plastik dan styrofoam terbesar di dunia setelah Tiongkok (Jacobson, 2018). Setiap tahunnya, timbunan sampah styrofoam di tanah air mencapai 10,95 juta pcs (Putri Ramadhani S et al., 2015).
Bayangkan saja, ada sekitar 11,9 ton sampah styrofoam yang dihasilkan setiap bulan dari sektor non-rumah tangga. Sementara itu, untuk sektor rumah tangga menyumbangkan sekitar 9,8 ton setiap bulan. Jika kita mengamati lebih dekat, persentase sampah styrofoam ini menyumbang setidaknya 1,14% dari total 12% sampah plastik yang terkumpul setiap bulannya (Putri Setia Dinanti et al., 2024).
Di tengah keprihatinan ini, Rengkuh Banyu Mahandaru merangkul para petani pinang untuk mengumpulkan dan mengolah pelepah pinang yang selama ini hanya dianggap sebagai limbah. Di wilayah Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, Jambi, kebun-kebun pinang yang luasnya ratusan ribu hektar terus menghasilkan ribuan pelepah pinang yang berjatuhan. Dengan mengolah dan memanfaatkan pelepah pinang, para petani tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga menciptakan produk bernilai tambah yang dapat meningkatkan perekonomian mereka.
Sebelumnya, para petani di daerah tersebut biasanya membakar pelepah pinang untuk membersihkan lahan. Namun, pembakaran limbah pelepah pinang tidak hanya mencemari udara, tetapi juga memperburuk masalah lingkungan yang makin kompleks. Karena itu, inisiatif untuk mengolah pelepah pinang menjadi produk pengganti styrofoam menjadi solusi yang tidak hanya baik bagi ekonomi, tetapi juga bagi lingkungan. Mengingat, styrofoam membutuhkan waktu ratusan tahun agar bisa terurai di alam.
Hal ini selaras dengan fakta dari Sciencing (2018) yang menyebutkan bahwa styrofoam merupakan material yang tidak dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme (non-biodegradable) dan tidak dapat didaur ulang menjadi produk lain (non-recyclable). Karena itu, styrofoam membutuhkan waktu lebih dari 500 tahun untuk terurai di alam. Dampaknya, limbah styrofoam terus menumpuk, meninggalkan jejak polusi yang dapat merusak ekosistem selama berabad-abad.
“Belum lama, muncul banyak riset. Indonesia menjadi negara kedua penyumbang sampah lautan terbesar di dunia.” Ucap Rengkuh Banyu Mahandaru.
Berdasarkan data dari jurnal ilmiah Environmental Advances (2023), styrofoam merupakan komponen utama dari sampah laut di berbagai perairan. Partikel kecil styrofoam yang terpecah atau hancur dapat membahayakan kehidupan laut. Styrofoam yang tertelan satwa laut akan sulit dicerna sehingga dapat menyebabkan kematian dan mengganggu rantai makanan laut. Karena itu, perlu mencari alternatif yang ramah lingkungan sebagai pengganti styrofoam untuk mendukung keberlanjutan ekosistem laut dan bumi.
Salah satu alternatif potensial adalah penggunaan pelepah pinang karena dapat terurai secara alami tanpa melibatkan bahan kimia. Proses pembuatannya juga cukup sederhana dan ramah lingkungan. Setelah dijemur dan dikeringkan, pelepah pinang dicuci untuk menghilangkan kotoran, lalu dikeringkan kembali. Selanjutnya, lembaran pelepah dipres hingga membentuk piring atau wadah yang diinginkan dan disterilisasi dengan sinar UV untuk menjaga kebersihannya. Hasil akhirnya adalah produk yang kukuh, tahan air, tahan panas, serta desainnya menarik tidak kalah dengan kemasan konvensional. Selain itu, produk dari pelepah pinang lebih aman bagi lingkungan dan kehidupan laut karena bisa terurai secara alami paling lama 60 hari.
Dengan menggunakan kemasan berbahan pelepah pinang, kemasan yang telah terpakai tidak lagi menjadi sampah yang merusak lingkungan, tetapi seakan “dikembalikan” ke alam sebagai bagian dari siklus alami.
Belajar dari Rengkuh, Sosok Inspiratif Pengubah Pelepah Menjadi Rupiah
Rengkuh Banyu Mahandaru, sosok pemuda dibalik startup Plépah, merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan background sebagai product desainer. Pengalaman Rengkuh sebagai staf ahli di Badan Ekonomi Kreatif Indonesia memberinya banyak kesempatan untuk turun langsung ke lapangan dan memahami potensi sumber daya lokal di berbagai wilayah Indonesia.
Saat melakukan kunjungan ke Sumatera, terutama di Jambi, Rengkuh menemukan inspirasi untuk memanfaatkan pelepah pinang yang melimpah. Fakta bahwa sekitar 30% pinang dunia berasal dari Jambi makin menguatkan idenya untuk menginisiasi produk ramah lingkungan berbasis komunitas yang melibatkan masyarakat setempat.
Pada tahun 2018, Rengkuh memperluas risetnya dengan mengunjungi Jaipur, India. Di sana, pemuda itu menemukan banyak penjual makanan yang menggunakan wadah dari daun sebagai pengganti plastik atau styrofoam. Pengalaman ini memicu ide bagi Rengkuh untuk membawa konsep serupa ke Indonesia dengan bahan lokal pelepah pinang.
Tak hanya itu, Rengkuh juga terinspirasi dari kearifan lokal yang menggunakan daun pisang sebagai pembungkus makanan sehingga makin mendorongnya menciptakan kemasan ramah lingkungan berbasis tradisi lokal.
Langkah nyata Rengkuh dimulai pada tahun 2019 dengan mendirikan pabrik kecil di desa-desa sekitar Jambi dan Sumatera Selatan. Langkah ini tidak hanya memudahkan masyarakat setempat untuk terlibat dalam proses produksi, tetapi juga mengurangi emisi karbon dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Dengan mendekatkan pusat produksi ke sumber material, Rengkuh berhasil memberdayakan warga sekaligus menciptakan rantai pasok yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Harapannya, Plépah bisa menjadi solusi global yang bisa diselesaikan melalui desa-desa di Indonesia.” Tegas Rengkuh dengan nada optimis.
Pada tahun 2023, Plépah meraih pencapaian besar dengan mewakili Indonesia dalam Hannover Messe di Jerman, salah satu pameran teknologi paling bergengsi di dunia. Partisipasi ini membuka peluang bagi produk Plépah untuk memasuki pasar global dan memperluas jangkauan produk ramah lingkungan. Dari pameran tersebut, Plépah berhasil menjalin kerja sama dengan Australia untuk penyediaan 150.000 pcs kemasan ramah lingkungan. Pencapaian ini menjadi langkah signifikan dalam perjalanannya menuju keberlanjutan dan pengaruh global.
Selain itu, Rengkuh juga berkolaborasi dengan Non-Governmental Organization (NGO) yang fokus pada konservasi hutan untuk mengembangkan potensi pelepah pinang lebih dari sekadar komoditas lokal sehingga menjadikannya bagian dari upaya keberlanjutan lingkungan yang lebih luas.
Berkat upaya pengembangan yang konsisten, kapasitas produksi Plépah mengalami lonjakan signifikan. Dari yang awalnya hanya mampu memproduksi sekitar 1.000 pcs per bulan, kini Plépah berhasil meningkatkan kapasitasnya menjadi 120.000-150.000 pcs per bulan. Pencapaian ini mencerminkan keberhasilan Plépah dalam memenuhi permintaan pasar yang terus berkembang sekaligus memperluas dampak positifnya dalam menyediakan alternatif kemasan ramah lingkungan.
Plépah Bukan Sekadar Bisnis Semata: Dari Desa Kecil ke Panggung Dunia
Di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sebuah gerakan besar dimulai dari sesuatu yang sederhana. Rengkuh bertemu dengan Supriyanto, ketua Koperasi Mendis Maju Bersama, mereka mengajak masyarakat setempat untuk mengelola limbah agrikultur pohon pinang. Dari yang semula dibakar, kini dikumpulkan dan diubah menjadi sumber ekonomi alternatif dalam bentuk kemasan ramah lingkungan.
Selain Pak Supriyanto, ada pula Pak Jangji dan timnya, yang terdiri dari 30 petani pinang di Tanjung Jabung Timur. Di lahan seluas 7 hektar ditambah hasil akumulasi dari kebun lainnya, Pak Jangji berhasil mengumpulkan 2-3 ton limbah pelepah pinang setiap tiga bulan. Limbah yang sebelumnya dianggap tak berharga kini bernilai ekonomi tinggi. Terlebih, harga pelepah pinang mencapai Rp1.500 per kilogram, jauh lebih menguntungkan dibandingkan buah pinang yang hanya dihargai Rp800 per kilogram.
Selain nilai ekonominya yang tinggi, pelepah pinang juga aman digunakan untuk kemasan makanan. Menurut Surya Sukma Kusuma, peneliti dari BRIN, “Produk Plépah aman digunakan sebagai wadah makanan karena melalui proses produksi yang sesuai, pelepah pinang terbukti ramah lingkungan dan memenuhi standar keamanan.” Dengan demikian, selain memberikan manfaat ekonomi, pelepah pinang juga berperan penting dalam mendukung solusi kemasan yang lebih aman dan ramah lingkungan.
Dari desa kecil ini, perubahan besar terjadi. Limbah yang dulu terbuang kini menjadi solusi, menggantikan plastik dan styrofoam yang mencemari lingkungan. Tak hanya menyelesaikan masalah limbah, Rengkuh dan petani pinang telah menyalakan obor pembangunan berkelanjutan, membawa inovasi dari desa ke panggung dunia. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah-langkah kecil dari sebuah desa, dari pelepah yang terjatuh, dan dari sekelompok orang yang bertekad membuat perbedaan.
Seperti halnya efek kupu-kupu (butterfly effect), tindakan kecil ini bisa menggema jauh melampaui batas yang dibayangkan, memicu rangkaian perubahan yang lebih besar, dan membuktikan bahwa sesuatu yang dimulai dengan langkah kecil di tempat yang tak terduga dapat membentuk masa depan yang lebih baik.
“It has been said that something as small as the flutter of butterfly’s wing can ultimately cause a typhoon halfway around the world.” -Butterfly Effect
Apresiasi SATU Indonesia Awards sebagai Pemacu Semangat Plépah untuk Inovasi Ramah Lingkungan
Dengan tekad yang kuat, Rengkuh dan rekan-rekan mulai bereksperimen dengan mengolah, menguji, dan terus mencoba pelepah pinang hingga berhasil menciptakan produk inovatif yang ramah lingkungan. Perjalanan ini tidak mudah, keterbatasan dana dan minimnya dukungan sempat menjadi kendala. Namun, semangat mereka tak pernah pudar.
Penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 menguatkan langkah Rengkuh dan rekan-rekan dalam menciptakan inovasi ramah lingkungan, sekaligus membuka jalan bagi kemitraan yang lebih luas. Apresiasi ini juga mencerminkan visi besar Rengkuh dalam pemberdayaan masyarakat dan keberlanjutan, yang bukan hanya berfokus pada inovasi produk, tetapi juga pada dampak sosial dan ekonomi bagi komunitas.
Manfaat yang didapatkan Rengkuh dari SATU Indonesia Awards meliputi jaringan yang lebih luas, akses permodalan, serta kesempatan bertemu dengan para juri untuk mendapatkan wawasan baru dan perkembangan lebih lanjut. Astra memberikan ruang bagi kemitraan strategis yang dapat mempercepat pertumbuhan Plépah.
Meraih penghargaan di kategori kelompok, Rengkuh dan rekan-rekan diakui atas upayanya menggantikan plastik dan styrofoam dengan kemasan dari daun pelepah pinang, serta membantu meningkatkan pendapatan petani pengumpul pelepah pinang. Sebuah langkah nyata untuk perubahan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
“Tidak hanya sekadar membeli jajanan, dengan memilih kemasan pelepah pinang, kita turut berkontribusi terhadap kelestarian alam. Bungkus yang semula terbuang kini seolah ‘dikembalikan’ ke alam sebagai bentuk terima kasih, menciptakan siklus yang berkelanjutan dan penuh makna.”
#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #KitaSATUIndonesia
Referensi:
Chan, H. H. S., & Not, C. (2023). Variations in the spatial distribution of expanded polystyrene marine debris: Are Asian’s coastlines more affected? Environmental Advances, 11, 100342. https://doi.org/10.1016/j.envadv.2023.100342
CNN Indonesia. (2023, December 24). Peluang Berkah Dari Limbah Pelepah #Satu Indonesia. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=bBNiZaVLpFI
CNN Indonesia. (2024). Peluang Berkah dari Limbah Pelepah. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=LWSfxHUgec4
Footloose Initiative. (2021, September 5). Plepah kemasan pelepah pinang. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=WM5N899c8Fw
Helmy Yahya Bicara. (2023, August 4). Bisnis Anak Muda Pun Harus Pikirin Keberlanjutan | Helmy Yahya Bicara. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=YuvX0FTULJ4
Jacobson, P. (2018, September 5). Indonesia, a top plastic polluter, mobilizes 20,000 citizens to clean up the mess. Mongabay Environmental News. https://news.mongabay.com/2018/09/indonesia-a-top-plastic-polluter-mobilizes-20000-citizens-to-clean-it-up/
Jimmy Oentoro Channel. (2024, October 15). Krisis Lingkungan: Pertarungan Melawan Plastik | Satu Cerita Untuk Indonesia. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=FwBc4KZ2Z-M
Little, M. (2018, October 31). Facts About Landfill & Styrofoam. Sciencing. https://www.sciencing.com/facts-about-landfill-styrofoam-5176735/
Putri Ramadhani S, Fitri Ardiani, & Etti Sudaryati. (2015). Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Dengan Posisi Tawar Konsumen Tentang Penggunaan Kemasan Styrofoam Sebagai Wadah Makanan Di Amaliun Foodcourt Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4(4).
Putri Setia Dinanti, Sri Astuti Siregar, & Fitria Eka Putri. (2024). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Penggunaan Styrofoam sebagai Kemasan Makanan pada UMKM Sektor Makanan di Kota Jambi Tahun 2023. Jurnal Kesmas Jambi, 8(1), 38–47. https://doi.org/10.22437/jkmj.v8i1.31324
Raditya Dika. (2024, June 9). Video Ini Isinya Sampah (?). YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=-kVrL6O9cWY